TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan abu sisa pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Limbah tersebut dikenal dengan nama Fly Ash Bottom Ash (FABA). Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP No. 22/2021 merupakan turunan dari UU Cipta Kerja dan revisi atas PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Dalam Pasal 459 ayat (3) huruf c tertulis, pemanfaatan limbah nonB3 sebagai bahan baku yang pada lembar
Baca juga: Menelusuri Kelompok Hakekok Lakukan Ritual Mandi Bareng Tanpa Busana, Lokasinya di Area Kebun Sawit
Baca juga: Perusahaan Jepang Tertarik Investasi Petrokimia di Bintuni Papua Barat
Pasal Demi Pasal di halaman 94 dijelaskan limbah tersebut adalah FABA batu bara untuk pembuatan produk konstruksi seperti semen.
"Pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Circulating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen pozzolan," demikian isi dalam PP tersebut dikutip, Jumat (12/3/2021).
Pada Pasal 461 ayat (1) huruf a hingga d, dijelaskan bahwa pemanfaatan limbah nonB3 yaitu abu batu bara dari PLTU sebagai substitusi bahan baku pembuatan beton, batako, paving block, beton ringan, dan bahan konstruksi lainnya yang sejenis.
Selain itu, limbah ini juga bisa dimanfaatkan untuk industri semen, pemadatan tanah, dan bentuk lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Meski begitu, dalam aturan ini tidak disebut berapa banyak porsi limbah batu bara dari PLTU yang wajib dimanfaatkan sebagai bahan baku.
Ketentuan dalam Pasal 459 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah nonB3 atau pihak lain dapat melakukan pemanfaatan limbah nonB3.
Sedangkan pada ayat (2), tertulis bahwa pemanfaatan limbah nonB3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tercantum dalam Persetujuan Lingkungan yang ditetapkan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Selain limbah batu bara, Jokowi juga mengeluarkan limbah penyulingan sawit atau yang biasa dikenal dengan spent bleaching earth (SBE) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Dalam Lampiran XIV PP 22/2021, SBE dicantumkan dalam daftar limbah nonB3. Limbah penyulingan sawit itu diberi kode N108. "Proses industri oleochemical dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama dengan 3 persen," bunyi penjelasan limbah spent bleaching earth di Lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021.
Aturan itu berubah dari Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014. Pada aturan yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, SBE masuk dalam kategori limbah B3. Saat itu, pemerintah mencantumkan spent bleaching earth ke dalam kategori bahaya 2. Limbah sawit itu diberi kode B413.
Keputusan Jokowi mengeluarkan abu sisa pembakaran batu bara dan limbah penyulingan sawit dari daftar limbah berbahaya disambut gembira kalangan pengusaha.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi B Sukamdani mengatakan memang seharusnya limbah batu bara tidak dikategorikan sebagai B3. Pasalnya, limbah bisa manfaatkan menjadi bahan bangunan seperti semen campuran beton.
Selama ini karena dikategorikan berbahaya, limbah tidak memiliki nilai ekonomi. Padahal, ia mengklaim, limbah aman didaur ulang dan di beberapa negara luar seperti AS, Inggris, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya juga mengkategorikan FABA sebagai limbah aman daur ulang.
"Kita lihat saja kenyataannya di negara lain seperti apa. Kalau tidak diolah hanya ditumpuk, dihampakan sebetulnya akan menjadi masalah," jelasnya .
Alih-alih menjadi masalah lingkungan seperti yang digaungkan aktivis lingkungan, ia mengatakan pemanfaatan FABA malah akan menjadi solusi dari limbah batu bara yang selama ini dianggurkan.
Meski tak memiliki data pasti terkait nilai pemanfaatan limbah batu bara, namun ia menyampaikan setiap 5 persen dari total pengolahan batu bara merupakan limbah. "Potensi otomatis besar, detail saya lupa karena studi sudah agak lama.
Tapi yang kita lihat PLTU per hari berapa ton, kalau tidak diolah kan jadi tumpukan. Jadi justru kalau di negara lain bukan B3 dan diolah lagi jadi bahan yang punya nilai komersiil," jelasnya.
Selain Apindo, PT Bukit Asam Tbk (Persero) atau PTBA juga menyambut gembira keputusan Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan abu sisa pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
"Ini kabar baik dan gembira buat kita sehingga FABA bisa kita manfaatkan untuk hal-hal bermanfaat," kata Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin dalam konferensi pers Kinerja Tahunan PTBA, Jumat (12/3).
Menurut Arviyan, di negara-negara maju terutama yang ada di Eropa sudah tidak memasukkan FABA dalam kategori limbah B3.
Sebabnya, teknologi PLTU yang mereka gunakan sudah jauh berkembang. Karena itu, abu-abu yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di PLTU bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku konstruksi mulai dari semen, paving block, dan bahan bangunan lainnya.
"Sementara di sini (pemanfaatannya) masih terkendala karena masih masuk limbah B3," lanjutnya.
Arviyan pun mengeklaim teknologi yang digunakan PTBA di pembangkit mereka sudah maju sehingga bisa menangkap abu yang terbang dan akan dimanfaatkan menjadi beberapa produk konstruksi.
Di sisi lain Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung menilai aturan dalam PP 22/2021 sangat berbahaya lantaran pemerintah mengeluarkan sejumlah limbah hasil tambang dan perkebunan dari kategori B3.
"Kita lihat ini kerugian buat lingkungan dan masyarakat, jadinya bisa bebas digunakan untuk apa saja dan itu sangat berbahaya," kata Sawung, Jumat (12/3).
Selain limbah sawit, Sawung juga menyoroti limbah batu bara yang dikenal dengan fly ash dan bottom ash (FABA).
Menurutnya, limbah-limbah itu berbahaya karena mengandung zat-zat karsinogenik atau pemicu kanker.
Seharusnya, kata Sawung, limbah-limbah itu tetap masuk dalam kategori B3, sehingga pemerintah bisa mengendalikan dampak pencemaran lingkungan dan kesehatan warga.
"Selain jumlah, ada sumbernya yang mengandung radioaktif, merkuri tinggi, beda-beda, makanya dimasukin B3. Jadi, kalau mau dimanfaatkan, harus diuji dulu," ujarnya.
Sementara anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan menilai, keputusan Presiden Jokowi mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) justru berisiko merusak lingkungan.
Sebab, menurutnya, saat limbah batu bara masih diatur dalam kategori B3 saja kerusakan lingkungan tetap terjadi.
"Saat masih diatur saja lingkungan masih tetap banyak yang rusak akibat berbagai pelanggaran, apalagi kalau sekarang dibebaskan, bisa semakin mengancam kualitas hidup manusia Indonesia," kata Daniel, Jumat (12/3/2021).
"Dikeluarkannya limbah pembakaran batu bara dari kategori limbah beracun B3 sangat berisiko pada kerusakan lingkungan," sambungnya.
Daniel juga menyoroti masalah lain yang akan terjadi ketika limbah batu bara tersebut dikeluarkan dari kategori B3.
Dia menilai, hal ini berpotensi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan limbah menjadi tidak terpantau dan diawasi lagi.
Bahkan, Daniel melihat hal tersebut bisa mengancam kualitas air. "Ini menjadi sangat berbahaya ketika hal tersebut dilakukan secara sembarangan. Ketika pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka limbah yang terserap masuk ke dalam tanah kemudian masuk ke air, maka ini akan merusak tanah dan membahayakan kualitas air," jelasnya.
Untuk itu, politikus PKB ini menyarankan pemerintah menimbang terlebih dahulu seperti apa pengaturan dan penanganan limbah batu bara setelah dikeluarkan dari kategori B3, sebelum memutuskan mengeluarkannya.
Bukan tanpa alasan, dia menilai, Peraturan Pemerintah (PP) sebelumnya, yaitu PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pasti memiliki argumen yang kuat sehingga memasukkan limbah batu bara dalam kategori B3.
"PP Nomor 101 Tahun 2014 pasti memiliki argumen yang kuat sehingga memasukkan limbah dari hasil pembakaran batu bara sebagai limbah yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan, sehingga menggolongkannya ke dalam B3," ucap dia.
Ketua DPP PKB itu juga mempertanyakan kepada pemerintah, apakah keputusan mengeluarkan limbah batu bara dari kategori berbahaya itu sudah melalui kajian ilmiah yang tepat dan akurat.
Di sisi lain, ia juga mengingatkan agar semangat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang hendak mempercepat investasi, jangan sampai mengesampingkan sektor lingkungan dan kesehatan manusia. "Jangan sampai aspek kesehatan masyarakat luas dikorbankan di atas kepentingan bisnis, harganya terlalu mahal," tegas dia.(tribun network/fik/mam/fah/dod)