Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Usaha Logistik (Bulog), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi representasi kepentingan nasional.
Di sisi lain ada asosiasi petani beras yang mewakili kepentingan mereka masing-masing. Dengan demikian, kompleksnya hubungan dan kepentingan tentunya menciptakan pro dan kontra dalam kebijakan impor beras.
Terlebih lagi, tidak ada adanya sinkronisasi antara data.
Oleh sebab itu, Dian mengungkapkan penting bagi stakeholder terkait, melalui Kemenko Perekonomian mengkordinasikan persoalan ini dengan Kementan, Kemendag, Bulog, BPS termasuk DPR RI dengan duduk bersama dan membuka data ril produksi, cadangan beras, kebutuhan dan harga.
"Transparnasi diperlukan agar tidak ada kebijakan impor yang salah.
Artinya impor hanya dilakukan manakala cadangan tidak mencukupi dan sekali lagi tidak dilakukan saat sedang panen raya.
Jadi pemerintah perlu berhati-hati sebelum memutuskan impor karena petani akan sangat terkena dampaknya.
Kalaupun cadangan beras pemerintah dan atau bulog dirasa tidak cukup, dibulan September bisa dilakukan karena biasanya produksi mulai menurun," ujarnya.
"Dan jika ternyata stok cukup, kebijakan impor untuk apa dan siapa? Karena sangat bertolak belakang dengan semangat Presiden Joko Widodo yang menyerukan harus berdaulat pangan dan mensejahterakan petani," katanya.