"Lalu, tanpa izin dari pihak berwenang, di tengah musim covid-19, tetap bisa mengadakan kegiatan dengan peserta ratusan orang, tanpa dibubarkan oleh pihak berwenang?" tambahnya.
Menurut Herzaky, tindakan para penggerak KLB itu merupakan kesewenang-wenangan kekuasaan dan melanggar aturan yang berlaku.
Untuk itu, ia pun heran dengan adanya tudingan konflik yang terjadi hanya untuk menaikkan elektabilitas partai.
"Kesewenang-wenangan kekuasaan yang ditunjukkan secara nyata ini, secara brutal telah memperkosa demokrasi, menafikan etika, norma, kepatutan, dan aturan-aturan hukum yang berlaku."
"Lalu, masih ada saja yang berpikir ini drama politik?" ungkapnya.
Baca juga: Kisruh Partai Demokrat, Herzaky kepada Kubu KLB : Stoplah Produksi Kebohongan
Terakhir, ia menuturkan, dampak digelarnya KLB ini, situasi demokrasi di Indonesia sedang genting.
Sehingga, diperlukan kerja sama dari seluruh pihak untuk memastikan demokrasi di Indonesia tetap berjalan baik.
"Situasi demokrasi Indonesia saat ini sedang genting, dan perlu kerja keras kita semua."
"Untuk memastikan demokrasi Indonesia tidak berjalan menuju jurang kehancuran oleh perilaku segerombolan pelaku GPK-PD yang berselingkuh dengan kekuasaan," pungkasnya.
Konflik Kudeta Awalnya Dianggap untuk Menaikkan Elektabilitas
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, Pengamat politik sekaligus pegiat media sosial, Ninoy Karundeng menilai, konflik yang terjadi di Partai Demokrat awalnya dianggap untuk menaikkan elektabilitas partai.
Namun, langkah untuk menaikkan elektabilitas partai justru dinilai gagal.
Untuk itu, ia menilai kisruh ini membuat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku dua tokoh utama Demokrat mesti mengubah strategi.
"SBY telah menyusun grand design strategi untuk menutupi tujuan utama yang tersembunyi terkait konflik internal Demokrat, yang awalnya untuk menaikkan elektabilitas."