Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM - Lebih dari 37 tahun teknologi telepon bergerak selular diperkenalkan di Indonesia.
Namun masih ada 12.548 desa dan kelurahan, di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) belum menikmati layanan internet.
Dari jumlah tersebut, 9.113 desa dan kelurahan merupakan daerah Universal Service Obligation (USO) yang merupakan tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dalam menyediakan layanan telekomunikasi.
Sedangkan 3.435 desa lainnya adalah daerah non-3T yang sejatinya menjadi kewajiban 6 operator telekomunikasi pemegang izin bergerak selular.
Baca juga: Komunitas Pers Apresiasi Langkah Cepat Kemenkes-Kominfo Vaksinasi Awak Media
Baca juga: Menkominfo: Jaga, Lindungi dan Hindari Kebocoran Data Pribadi
Melihat masih banyaknya daerah di Indonesia yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi, disesalkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio.
Menurutnya komitmen pembangunan operator telekomunikasi, khususnya di daerah non komersial, masih terbilang sangat lambat.
Padahal ketika mendapatkan izin penyelenggaraan jaringan bergerak selular secara nasional, para operator tersebut telah berjanji membangun infrastruktur telekomunikasi selular di seluruh daerah, termasuk di daerah yang non komersial.
Baca juga: Dukung Pembelajaran Jarak Jauh, Indosat Ooredoo Bagikan Bantuan Kuota Data Internet PJJ Tahap II
"Berbagai alasan kerap diutarakan operator untuk tidak memenuhi komitmen pembangunannya. Dahulu isu tidak adanya backbone dipakai untuk menghindari komitmen pembangunan. Namun kini dengan tersedianya Palapa Ring Paket Timur, Tengah, dan Barat, seharusnya tidak ada alasan bagi operator telekomunikasi untuk tidak membangun di 3.435 desa tersebut. Padahal di saat pandemi Covid-19, seluruh daerah membutuhkan layanan telekomunikasi untuk melakukan kegiatan daring seperti pembelajaran jarak jauh dan bekerja dari rumah," ungkap Agus.
Agus meminta agar Kementerian Kominfo dapat bertindak tegas terhadap operator telekomunikasi yang 'malas' membangun di 3.435 daerah non komersial tersebut.
Termasuk menagih janji investasi dan pembangunan jaringan yang telah disampaikan operator telekomunikasi ketika mendapatkan izin.
"Saya meminta Menkominfo dapat lebih tegas kepada operator telekomunikasi. Tagih saja janji-janji mereka sewaktu ketika mengajukan izin. Komitmen pembangunan merupakan kewajiban operator telekomunikasi ketika mereka mendapatkan izin. Saat ini kebutuhan akan layanan data sangat tinggi. Seharusnya itu menguntungkan investor asing pemilik operator telekomunikasi tersebut," terang Agus.
Bukannya meminta tambahan modal ke pemegang sahamnya untuk dapat memenuhi komitmen pembangunan, operator telekomunikasi malah bermanuver seperti memaksakan spektrum sharing di semua teknologi dan mendorong roaming domestik agar diberlakukan lagi.
Pengamat kebijakan publik ini menilai, niat salah satu operator mendorong diberlakukannya national roaming merupakan hal yang tak masuk akal.
Sejatinya roaming diberlakukan untuk memberikan layanan telekomunikasi bagi masyarakat yang berpergian ke luar negeri.
Misalnya pelanggan XL Axiata yang hendak bepergian ke Malaysia, maka roaming baru bisa dilakukan.
"Nggak mungkin operator kita membangun jaringan telekomunikasi di Malaysia. Oleh sebab itu diberlakukanlah roaming. Karena operator kita tak memiliki hak dan kewajiban untuk membangun jaringan di negara lain. Makanya menyewa jaringan dari operator di luar negeri. Kalau satu negara ya tak perlu roaming, karena kewajiban mereka adalah membangun di seluruh wilayah Indonesia, tanpa terkecuali," ungkap Agus.
Harusnya yang dilakukan operator telekomunikasi, membangun di daerah yang belum ada layanannya.
Tujuannya selain agar masyarakat dapat memiliki pilihan telekomunikasi, juga dapat menciptakan equal playing field di industri telekomunikasi.
Kunci dari keberhasilan industri telekomunikasi adalah terus membangun dan berinvestasi.
Jika operator terus melakukan manuver guna menghindari komitmen pembangunan, Agus meminta agar Kementerian Kominfo tak segan menindak dan memberikan sanksi tegas terhadap operator telekomunikasi yang tidak patuh pada regulasi dan kesepakatan yang ada.
"Apa yang tertuang dalam regulasi harus dilakukan oleh operator telekomunikasi. Kementerian Kominfo sebagai regulator harus mengawasi dan dapat bersikap tegas. Kalau ada yang ingkar terhadap komitmen pembangunannya, harus diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Peran tersebut yang harus dilakukan oleh Kementerian Kominfo," terang Agus.
Dengan diterbitkannya PP No.46 tahun 2021 tentang Postelsiar, Menkominfo memiliki kewenangan dalam melakukan evaluasi dan pencabutan izin penyelenggaraan telekomunikasi.
Kalau mereka tidak membangun, menurut Agus, Menkominfo dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam PP No.5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Sanksi tersebut berjenjang, mulai dari teguran tertulis, pengenaan denda administratif, penghentian sementara kegiatan usaha, daya paksa polisional, hingga pencabutan perizinan berusaha.
Kominfo memiliki dasar sangat kuat untuk mengambil tindakan tegas terhadap operator telekomunikasi yang culas dan ingkar dalam memenuhi komitmen pembangunan.
"Kominfo diminta tidak takut dan ragu untuk menerapkan komitmen pembangunan yang sama ke seluruh operator telekomunikasi, equal level playing field harus dijalankan. Pemerintah harus tegas kepada operator yang ingkar terhadap janji pembangunannya. Indonesia itu pasarnya besar, akan banyak investor yang tertarik berinvestasi di sektor telekomunikasi nasional," pungkas Agus.