TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan akhir terdakwa kasus suap pengurusan red notice Interpol dan pemufakatan jahat fatwa Mahkamah Agung (MA), Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra akan digelar dua pekan lagi, tepatnya Senin, 5 April 2021, pukul 10.00 WIB di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Hal ini ditetapkan Ketua Majelis Hakim pengadil perkara, Muhammad Damis dalam sidang lanjutan Djoko Tjandra agenda pembacaan duplik, di Pengadilan Tipukor Jakarta, pada Kamis (25/3/2021).
"Ditetapkan kembali (sidang vonis) pada Senin tanggal 5 April pada pukul 10.00 WIB dengan acara untuk putusan," ujarnya Damis.
Pembacaan putusan untuk Djoko Tjandra diputuskan dua pekan lagi lantaran majelis hakim, khususnya Damis ada kegiatan kedinasan pada tanggal 30 Maret - 1 April 2021.
"Pada tanggal 30 dan 31, sampai tanggal 1 April itu saya ada kegiatan dengan Mahkamah Agung dan kemungkinan akan berdinas di luar kantor. Itu penyebabnya," tutur dia.
Dalam kasus ini Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus suap pengurusan red notice dan pemufakatan jahat fatwa MA.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Djoko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Baca juga: Kubu Djoko Tjandra: Jaksa Tak Punya Bukti yang Lebih Terang daripada Cahaya
Selain itu, JPU juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021.
Alasannya, karena Djoko Tjandra dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
Menurut jaksa, dalam persidangan terungkap fakta bahwa benar Djoko Tjandra memberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra ke Pinangki melalui perantara Andi Irfan Jaya –yang merupakan rekan Pinangki– dengan maksud sebagai biaya pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.
Penerbitan fatwa MA itu bertujuan supaya Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 yang menghukumnya 2 tahun penjara.
Selain itu, terungkap pula bahwa terjadi penyerahan uang kepada dua jenderal polisi guna pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar AS dan 370 ribu dolar AS, serta eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dolar AS.
Jaksa juga menyebut Djoko Tjandra terbukti terlibat pemufakatan jahat bersama Pinangki dan Andi Irfan Jaya dalam pengurusan fatwa MA. Mereka menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.