Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi terorisme melalui aksi bom bunuh diri terjadi di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan.
Para terduga teroris tersebut melakukan aksinya bukan hanya ingin masuk surga saja, melainkan ingin menguasai negara.
"Apapun tujuan teror mereka itu sebenarnya bukan hanya surga, tapi juga ingin menguasai negara ini, menguasai pemerintahan ini," ujar Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews.com, Selasa (30/3/2021) dini hari.
Konsep seperti itu, kata dia, sudah ada sejak awal Islam.
Artinya, kata dia, teroris selalu melawan pemerintahan dan akan berhenti sampai mereka berkuasa.
Baca juga: Menteri Agama: Tidak Ada Agama yang Mengajarkan Teror
Islah mengatakan sudah tepat Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengimbau agar masyarakat tidak takut menyikapi teror bom.
"Ini bukan hanya soal menciptakan kepanikan dan ketakutan, tapi mereka ingin membuat semua orang bertekuk lutut terhadap mereka," ujar Islah.
Dia membeberkan ada sekitar 400 terduga teroris ditangkap pada tahun 2020. Tahun ini sudah hampir 100. Islah menilai teroris terpukul.
Apalagi jalur pendanaan mereka dalam pengawasan PPATK dan Polri.
Cukup menyulitkan karena terorisme tidak bisa lepas dari pendanaan.
Ketika transaksi elektronik diendus PPATK, kelompok teroris menggunakan kotak amal untuk mengumpulkan dana. Islah berpendapat, teror bom di Makassar merupakan reaksi teroris terhadap penangkapan-penangkapan dan jalur pendanaan mereka yang terus terjepit.
Karena itu lanjut Islah masyarakat tidak perlu merespons bom bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan dengan ketakutan. Polri melalui Densus 88 terus bekerja, membongkar sel-sel teroris.
"Yang jelas pihak keamanan seperti Densus 88 itu tidak pernah berhenti. Ketika kita tidur, mereka bangun. Ketika kita diam, mereka bergerak," kata Islah.
Menurut Islah, sebagian masyarakat ada yang antipati menyikapi penangkapan terduga teroris.
Penyebabnya antara lain karena masyarakat tidak curiga dengan keseharian orang-orang yang ditangkap.
"Tapi pihak keamanan lebih tahu, intelijennya lebih bergerak," ujarnya.(Willy Widianto)