News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bom di Makassar

Kalangan Milenial Harus Kritis Agar Tidak Mudah Terpapar Paham Radikalisme

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah kendaraan melintas di depan Gereja Katedral, Jl Kajaolalido, Makassar, Senin (29/3/2021). Sejumlah ruas jalan di sekitar gereja mulai dibuka setelah sebelumnya ditutup pascaledakan bom bunuh diri yang terjadi pada Minggu (28/3/2021) di depan gereja tersebut. TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bomber depan Gereja Katedral Makassar diketahui berasal dari kalangan milenial.

Pelaku diketahui kelahiran tahun 1995 dan ini menjadi fakta bahwa paham radikalisme dan terorisme mulai menjangkiti anak-anak muda.

Psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum mengatakan agar anak-anak muda kalangan milenial tidak mudah terpapar paham radikalisme dan terorisme, mereka harus berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun.

"Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," ujarnya, Rabu (31/3/2021).

Generasi milenial lanjutnya juga harus lebih kritis menyikapi setiap isu. Dengan bersikap kritis, milenial diharapkan bisa terhindar dari kelompok radikal.

"Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," kata Nirmala.

Masalah kritis bukan sesuatu yang terberi. Milenial tidak berarti kritis. Nirmala memaknai kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka.

Baca juga: 3 Perempuan Terduga Teroris Terkait Bom di Gereja Makassar Ditangkap, Ini Peran Mereka

Nirmala berpendapat sebenarnya tidak bisa digeneralisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal.

Menurut Nirmala, aksi bom bunuh diri seperti di Makassar beberapa hari lalu lebih terkait keimanan. 

"Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," tuturnya.

Sementara itu Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berpendapat kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh.

Menurut wanita yang akrab disapa Mba Nuning ini, sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara. 

"Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain," tuturnya.

Dia menilai milenial perlu kritis jika menyangkut hal terkait pilihan hidupnya. "Kritis itu tentu bila menyangkut hal terkait dengan pilihan hidupnya. Bila salah ajaran maka kritis itu muncul justru sebagai anti ideologi negara," ujarnya.

Nuning berpesan kepada milenial agar bijak memilih pergaulan dan menghindari kelompok garis keras. Sedangkan penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan mendapatkan dukungan dana dan politik.

"Hati-hati saat ini proses enabling environtment marak, sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal," katanya.

Menurut dia, rekrutmen selain dilakukan tertutup, tapi ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan. Ruang-ruang publik yang ia maksud seperti sekolah, kampus, dan media sosial. 

"Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan," kata Nuning.(Willy Widianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini