TRIBUNNEWS.COM - Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel memberikan analisisnya terkait serangan teror di Mabes Polri, Rabu (30/3/2021) sore.
Utamanya melihat apakah aksi teror tersebut nekat atau bahkan terencana.
Reza memaknai kata nekat dengan mengesankan pelaku tidak pakai kalkulasi.
Namun dalam aksi teror di Mabes Polri, dirinya melihat adalah aksi terencana, bahkan lebih dari itu.
"Saya justru membayangkan ini bukan hanya serangan terencana terhadap polisi. Bukan sebatas ingin memviktimisasi polisi," katanya kepada Tribunnews, Kamis (1/4/2021).
Reza menyakini, pelaku teror di Mabes Polri sudah pasti bisa membayangkan risiko yang akan dia hadapi saat menyerang di pusat jantung lembaga kepolisian.
Baca juga: Ada Penyerangan di Mabes Polri, Perlu Penanganan Tegas Penyebaran Doktrin Terorisme
Baca juga: ZA Pura-pura Tanya Kantor Pos, Tinggalkan Surat Wasiat di Grup WA Keluarga
"Jadi, serangan tersebut sekaligus merupakan aksi terencana untuk bunuh diri (suicide by cops)," katanya menekankan.
Pria yang juga sebagai konsultan Lentera Anak Foundation ini melanjutkan analisisnya.
Reza kemudian melempar pertanyaan, apakah setiap serangan termasuk penembakan terhadap polisi bisa disebut sebagai aksi teror?
Ia menyebut, di Amerika Serikat, mengacu The Serve and Protection Act, serangan terhadap aparat penegak hukum disebut sebagai hate crime. Bukan terrorism.
"Di Indonesia boleh beda, tentunya," ucapnya.
Reza melanjutkan, penyebutan hate crime menunjukkan bahwa pelaku penembakan yang menyasar polisi tidak serta-merta disikapi sebagai (terduga) teroris.
"Butuh cermatan spesifik kejadian per kejadian, untuk memprosesnya secara hukum dengan pasal yang tepat sekaligus menangkal kejadian berikutnya secara tepat sasaran," tandasnya.
Detik-detik ZA Serang Mabes Polri