Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid mengatakan radikalisme banyak menjangkiti generasi milenial berdasarkan tingkat keterpaparannya dibandingkan generasi Z yang berusia 14 sampai 19 tahun dan generasi X yang berusia 40 tahun ke atas.
Ahmad mengatakan radikalisme banyak menjangkiti mereka yang berusia 20 sampai 39 tahun karena beberapa faktor.
Pertama karena generasi milenial ada di masa pertumbuhan yang tingkat kedewasaannya masih pembentukan dan masih mencari jati diri.
Selain itu, kata dia, emosi mereka belum stabil dan senang dengan tantangan. Selain itu, kata Ahmad, kecenderungan semangat keagamaan mereka tinggi.
Baca juga: Cara Jaringan JAD Makassar Rekrut Anggota Baru, Incar Klaster Keluarga
"Ini mudah sekali keterpaparannya apalagi dengan maraknya atau fenomena dunia maya. Apalagi tentu saja generasi milenial yang banyak menggunakan fasilitas dunia maya ini," kata Ahmad ketika berbincang dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domuara D Ambarita di kantor redaksi Tribunnews Jakarta pada Kamis (1/4/2021).
Dia mengatakan, BNPT telah membuat sejumlah strategi pencegahan pemaparan radikalisme terhadap mereka.
Di antaranya dengan menguatkan dan melibatkan secara aktif dan peoduktif civil society moderat, rokoh agama, dan civitas academic.
Pencegahan tersebut, kata Ahmad, dalam rangka memberi "vaksin" berupa pembangunan karakter dan mengajarkan budi pekerti.
Baca juga: BNPT: Teroris di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Punya Kaitan Ideologi
Hal itu karena menurutnya puncak dari keagamaan bukan pada tindakan jihad sebagaimana yang dipahami oleh penganut paham radikal.
Dia mengajak generasi milenial untuk tidak mengikuti baik akun media sosial maupun ajaran ustaz-ustaz intoleran dan radikal.
"Kedua, anak-anak kita jangan boleh memfollow ustaz-ustaz yang intoleran, ustaz-ustaz yang radikal karena ustaz ini adalah pintu masuk radikalisasi tadi, pintu masuk radikalisme," kata Ahmad.
Ia menjelaskan indikator ustaz-ustaz yang berpaham radikal di antaranya mengajarkan intoleransi terutama yang menganut Salafi Wahabi Jihadis.
"Saya mengatakan semua teroris yang kami tahan baik itu di Polri, lapas, BNPT itu semua berpaham Salafi Wahabi (Jihadis). Tetapi tidak semua wahabi salafi otomatis adalah teroris," kata Ahmad.
Selain itu, lanjut dia, ustaz-ustaz yang membentur-benturkan antara agama dengan budaya, agama dengan negara, atau agama dengan nasionalisme.
"Ini sudah selesai. Jadi kalau ada ustaz yang melakukan dikotomi seperti itu, hati-hati, waspada, dan jangan diikuti karena itu sudah ustaz yang akan meradikalisasi," kata Ahmad.
Menurutnya, jika ajaran tersebut diterima secaea mentah-mentah oleh generasi milenial maka mereka akan mudah mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham apalagi yang seagama.
Selain itu mereka juga akan merasa terzolimi, dizolimi, atau diperlakukan tidak adil, menghalalkan segala cara atas nama agama, hingga akhirnya melakukan aksi teror.
"Artinya ini yang harus kita waspadai tentang klaim kebenaran, tentang manipulasi," kata Ahmad.