Pernah saat mau membeli rumah ini, ada sebuah pohon ketapang di halaman depan. Kenangan itu masih membekas.
Di pohon itu sering diletakkan sesajen lantaran dipercayai ada penunggunya.
"Tapi ayah saya karena beriman, enggak percaya seperti itu meski kata orang di sini banyak setannya," kenang Ibu Laksmi seraya tertawa.
Untuk menghilangkan kesan angker, pohon ditebang. Mendiang Achmad Soebardjo memanggil seorang kiai untuk mendoakan rumah ini.
"Ayah saya panggil seorang kiai, dibacakan Al-Quran beberapa hari. Dia (kiai) itu memang diperlihatkan bahwa penunggu di sini banyak. Terus mereka sudah pergi. Kita akhirnya pindah ke sini," lanjutnya.
Menengok Kamar Kerja Menlu Pertama
Setelah lama berbincang dengan Ibu Laksmi, saya diajak melihat sejumlah ruangan di dalam rumah Achmad Soebardjo.
Cucu Achmad Soebardjo, Hutomo Said (55) mengatakan rumah ini terdiri dari 4 kamar dan satu kamar mandi.
Pertama, ia mengajak saya ke kamar kerja eyang kakungnya. Sayangnya, ketika masuk, kamar kerja Achmad Soebardjo tak lagi memiliki listrik.
Penerangan terbantu oleh pancaran sinar yang menerobos jendela besar yang masih terbuka. Itu pun tak begitu membantu lantaran hari hampir petang.
Saya hanya mengandalkan lampu senter HP pribadi dan dibantu juga oleh HP milik Pak Hutomo ketika melihat-lihat kamar kerja beliau.
Selayang pandang, terdapat sejumlah rak berisi deretan buku lawas di dalam kamar itu. Di antaranya buku berbahasa Inggris dan Belanda.
Saya juga melihat meja kerja berbahan kayu. Di atasnya terpajang dua foto wajah Achmad Soebardjo. Satu foto hitam putih, satunya berwarna.
"Spot favorit eyang kakung di kamar kerja ini. Kamar kerja ini juga dulu kantor Kemenlu-nya," cerita Pak Hutomo.