News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

OTT Menteri KKP

Saksi Beberkan Alasan Staf Khusus Edhy Prabowo Catut Nama Politisi PDI-P dalam Ekspor Benur

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sidang lanjutan perkara tindak pidana korupsi atas terdakwa Eks Menteri Kelautan dan Perikan Edhy Prabowo di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa (11/5/2021).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf khusus eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo, Andreau Misanta Pribadi disebut menyebut nama Aria Bima politisi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) guna memuluskan langkah izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur dari sebuah perusahaan.

Hal tersebut disampaikan oleh Anton Setyo Nugroho yang merupakan Kepala Bidang Jejaring Inovasi Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves).

Anton mengatakan hal itu saat dirinya duduk sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) yang menjerat eks Menteri KP Edhy Prabowo di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Anton sendiri merupakan PNS Kemenko Marves yang diberi mandat untuk membantu di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dalam sidang, Anton mengatakan, mulanya Direktur Utama PT Anugrah Bina Niha (PT ABN) Sukanto Ali Winoto menjalin komunikasi untuk pengurusan izin ekspor benur tersebut.

Pada saat itu, Anton meminta kepada Sukanto untuk menyerahkan uang partisipasi sebesar Rp 3,5 Miliar untuk proses perizinan ekspor benur di KKP.

Baca juga: Saksi Ungkap Ada Uang Partisipasi Rp 3,5 M dalam Proses Perizinan Ekspor Benih Lobster

Uang partisipasi tersebut kata Anton diminta oleh Andreau, namun Anton mengaku hanya mendapatkan Rp2,5 miliar dari Sukanto, yang mengaku keberatan dengan jumlah uang tersebut untuk memuluskan perizinan itu.

Setelah menerima uang tersebut, Anton langsung mendatangi Andreau untuk menyerahkan uang tersebut ditambah uang Rp100 juta dari Sukanto sebagai ucapan terima kasih.

Mendengar penjelasan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan arah uang tersebut yang dibawa Anton kepada Andreau.

"Apakah pada saat saksi serahkan uang tersebut, Pak Andreau katakan uang ini untuk Pak Menteri (Edhy Prabowo)?" tanya jaksa dalam persidangan Selasa (11/5/2021).

Menanggapi hal itu, Anton mengaku tidak mengetahui secara pasti arah uang lanjutan yang diserahkan kepada Andreau tersebut.

"Disampaikan itu ada (ke mantan Menteri Edhy) tapi saya gak tahu pasti apakah itu ke Pak Menteri atau tidak," jawabnya.

Lanjut kata dia, guna memberikan langkah kepada PT ABN atas izin ekspor benur ini, Anton menyebut kalau Andreau mengtakan perusahaan tersebut masih memiliki kaitan dengan nama Aria Bima.

Dalam penjelasannya, Anton mengatakan kalau PT ABN itu kata Andreau merupakan perusahaan yang dibawahi oleh Aria Bima.

"Jadi untuk meyakinkan Pak Menteri kalau PT Anugerah Bina ini dibawahi oleh Bapak Aria Bima," ucapnya.

Mendengar hal tersebut, lantas Ketua Majelis Hakim PN Tipikor Albertus Usada menanyakan siapa sosok Aria Bima itu kepada Anton.

"Siapa Aria Bima?" tanya hakim kepada Anton.

"Setahu saya politikus PDIP. Saya dengar Pak Andreau gitu. Jadi Andreau bilang 'Ton ini nanti saya sampaikan ke Pak Menteri bahwa PT yang kamu bawa ini di bawah koordinasi Pak Aria Bima'," jawab Anton.

Lantas Majelis Hakim menanyakan secara detil kepada Anton terkait profil Aria Bima tersebut.

Alhasil dalam sidang, Majelis Hakim membacakan kembali Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Anton nomor 18.

Seusai membacakan BAP tersebut, Majelis Hakim menanyakan kembali kepada Anton terkait status kepemilikan Aria Bima dalam PT ABN tersebut.

"Ya, jadi Andreau sampaikan saya akan (menyerahkan) ke menteri (Edhy Prabowo) bahwa PT ABN di bawah Pak Aria Bima," kata Anton.

"Tapi kenyataannya, siapa pemiliknya?" Majelis Hakim kembali menanyakan.

"Bukan, milik Sukanto," jawab Anton.

Dengan begitu, Hakim Albertus mengingatkan kepada Anton untuk tidak dengan mudah menyebut nama pihak lain dalam persidangan.

Hal tersebut kata Hakim, guna menghindari adanya fitnah dalam persidangan.

Sebagai informasi, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersama mantan Staf Khususnya Andreau Misanta Pribadi didakwa menerima suap Rp25,7 miliar dengan rincian 77 ribu dolar AS atau setara Rp1,12 miliar dan Rp24.625.587.250 (Rp24,6 miliar) dari beberapa perusahaan.

Suap itu ditujukan guna mengurus izin budidaya lobster dan ekspor benur.

Uang sebesar 77 ribu dolar AS diterima Edhy Prabowo dari Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.

Sedangkan Rp24,6 miliar juga diterima dari Suharjito dan sejumlah eksportir benih bening lobster (BBL) lain.

"Terdakwa Edhy Prabowo bersama-sama Andreau Misanta Pribadi, Safri, Amiril Mukminin, Ainul Faqih, dan Siswadhi Pranoto Loe telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, telah menerima hadiah atau janji," kata jaksa KPK membacakan surat dakwaan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/4/2021).

"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," sambung jaksa.

Atas perbuatannya, Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini