TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Agil Oktaryal menyebutkan ada lima opsi yang bisa ditempuh 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibebastugaskan Ketua Firli Bahuri.
"Terdapat 5 opsi dan ini bisa seluruhnya dilakukan," ujar Agil lewat keterangan tertulis, Kamis (13/5/2021).
Opsi pertama, Agil merinci, melakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021.
Beleid itu mengatur mengenai alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut Agil, gugatan itu berpeluang dikabulkan karena peraturan komisi itu bertentangan dengan Undang-Undang KPK, asas umum pemerintahan yang baik, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan UUD 1945.
Langkah kedua yang dapat ditempuh, menurut Agil, mengajukan gugatan atas Surat Keputusan (SK) pembebastugasan 75 pegawai ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pegawai, kata dia, dapat meminta PTUN membatalkan SK dan mengembalikan status 75 pegawai.
Agil mengatakan pegawai juga bisa melaporkan pimpinan KPK ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Dia menduga soal dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kontroversial melanggar hak pegawai untuk mendapatkan pekerjaan tanpa membedakan suku, agama, golonga dan kepercayaan yang dijamin konstitusi.
Baca juga: Usman Hamid Singgung TWK Pegawai KPK dalam Khotbah Salat Idul Fitri 2021
"Patut diduga terjadi diskriminasi terhadap pegawai. Ini adalah bentuk pelanggaran HAM serius," kata dia.
Agil menuturkan pegawai dapat melaporkan seluruh pimpinan KPK ke dewan pengawas.
Dia menduga terjadi pelanggaran etik serius dalam pembebastugasan para pegawai.
Menurut Agil, pegawai juga dapat melaporkan pimpinan ke Ombudsman karena diduga ada pelaksanaan tes dilakukan tidak memperhatikan etika penyelenggaraan negara yang bersih.