TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari rangkaian upaya menamatkan KPK hingga tak lepas dari kepentingan politik 2024.
Bahkan menurut Busyro, rangkaian upaya menamatkan KPK dari revisi Undang-Undang KPK hingga penonaktifan 75 pegawai tidak lepas dari kepentingan politik 2024.
Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad mengapresiasi pernyataan Busyro yang kritis dan tajam.
Namun menurutnya pernyataan tersebut masih bersifat prematur.
"Pernyataan tersebut patut diapresiasi karena berani berpendapat secara terbuka yang muatannya sangat kritis dan tajam. Namun demikian masih bersifat prematur dan dalam istilah Jawa menggunakan logika 'otak atik gathuk' artinya mengaitkan antara satu dengan yang lain yang saling terkait untuk sampai pada asumsi tertentu," kata Suparji kepada Tribunnews, Selasa (18/5/2021).
Selain itu, Suparji menilai bahwa revisi UU KPK lebih diarahkan untuk perbaikan.
Dia menyebut upaya 'pembunuhan' KPK tidak akan dilakukan.
"Pembunuhan KPK tentunya tidak boleh terjadi dan kiranya tidak akan dilakukan," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari rangkaian upaya menamatkan KPK.
Bahkan menurut Busyro, rangkaian upaya menamatkan KPK dari revisi Undang-Undang KPK hingga penonaktifan 75 pegawai tidak lepas dari kepentingan politik 2024.
Sayang Busyro tidak menyebut secara gamblang kepentingan politik siapa atau pihak mana yang ia maksudkan.
Baca juga: Tanggapi Busyro Muqoddas, Komisi III : Lebih Baik Semua Berhenti Kembangkan Sikap Suudzon
“Dari fakta dan gejala-gejala itu, saya ingin menyimpulkan fenomena atau kasus TWK ini marilah kita konstruksikan atau tidak lepas dari konstruksi yang terkait dengan kepentingan politik. Kepentingan politik apa? Kepentingan politiknya itu adalah yang terkait dengan Pemilu 2024 yang akan datang,” ujarnya dalam Konferensi Pers Virtual: Menelisik Pelemahan KPK melalui Pemberhentian 75 Pegawai, seperti disiarkan langsung di Channel Youtube Sahabat ICW, Senin (17/5/2021).
Karena menurut dia, Pemilu 2024 akan memerlukan banyak sekali dana. Dan satu-satunya lembaga yang paling dikhawatirkan akan sangat mengganggu adalah KPK.
“KPK dengan UU yang lama itu sangat mengganggu. Maka dalam logika politik seperti itu, KPK wajib dilumpuhkan, wajib ditamatkan riwayatnya,” ucapnya.
Konstruksi menamatkan KPK itu kata dia, dimulai dari revisi UU Nomor30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
“Kasus TWK ini tidak bisa dilepaskan dengan tahapan pertama yaitu revisi Undang-Undang KPK, kemudian diikuti revisi Undang-Undang Minerba, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Omnibus Law Cipta kerja,” jelasnya.
“Dari rangkaian-rangkaian ini, kesimpulan besar saya adalah fakta dan gejala-gejala itu menggambarkan pemerintah itu memang terindikasi tidak lagi melemahkan tetapi berusaha untuk menamatkan riwayat KPK,” tambahnya.
Dia mengatakan upaya untuk menamatkan KPK itu sebenarnya sudah dimulai pada pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Cuma Presiden sebelumnya itu akhirnya mendengar, dan melakukan sikap menyetop revisi UU KPK,” ujarnya.
Namun, di era Presiden Jokowi, revisi UU KPK itu kata dia, berhasil tuntas.
“Kalau revisi UU KPK itu merupakan amputasi politik terhadap KPK, eh ternyata itu tidak cukup. Sisa-sisa pertahanan terakhir orang-orang yang militan dalam arti positif itu dimasukkan kategori 75 orang ini. Kemudian 75 orang itu diamputasi. Kalau KPK itu sebagai lembaga diamputasi, 75 orang itu kemudian diamputasi. Pertahanan terakhir ini ada di tangan 75 ini,” ucapnya.