TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan pemerintah yang melarang mudik lebaran 2021, namun memberikan kelonggaran dengan dibukanya tempat wisata mengundang tanggapan banyakpihak.
Pengamat Kebijakan Publik UNS, Rino Ardian menyebut secara konseptual kebijakan tersebut dinilai sudah cukup baik untuk diambil.
Baik dalam artian menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan persebaran pandemi.
Namun kebijakan tersebut ternyata sulit diimplementasikan di lapangan.
Baca juga: Sandiaga Apresiasi Kebijakan Pemda Tutup Tempat Wisata Saat Libur Lebaran
Baik bagi masyarakat itu sendiri, maupun implementor di lapangan.
"Secara konseptual kebijakan tadi cukup baik. Dalam arti menyeimbangkan gas dan rem tadi antara pertumbuhan ekonomi dan persebaran pandemi. Tapi disisi lain kemudian kebijakan itu diartikan agak sulit di lapangan."
"Baik bagi masyarakat itu sendiri maupun implementor di lapangan. Level birokratnya atau birokrat di lapangan mungkin masih agak sulit mengimplementasikan kebijakan itu," kata Rino dikutip dalam Program Panggung Demokrasi di kanal YouTube Tribunnews.com, Rabu (19/5/2021).
Baca juga: Arus Balik Lebaran, Polri Perkirakan Masih Ada 400 Ribu Pemudik dari Sumatera Menuju Jawa
Implementasi Jadi Kendala Tersulit Bagi Kebijakan Publik di Indonesia
Rino menuturkan, terkait kebijakan publik, memang yang menjadi kendala tersulit di Indonesia adalah implementasinya.
Mengingat pada tahun lalu mudik juga dilarang tapi di lapangan masih saja ada yang nekat untuk mudik.
Apalagi dengan kebijakan seperti sekarang ini yang di lapangan sulit dipahami secara konsisten.
"Sehubungan dengan kebijakan publik, kalau kita lihat kendala tersulit di Indonesia adalah implementasi. Ketika pada tahun lalu mudik dilarang saja di lapangan banyak implementasinya. Apalagi dengan kebijakan yang di lapangan mungkin sulit dipahami secara konsisten."
"Kita lihat sendiri beberapa titik ada yang jebol, kemudian itu disiarkan di beberapa media.Motor beramai-ramai melewati perbatasan-perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah."
"Nah itu kan menunjukkan tidak ada kekonsistenan disana. Itu masyarakat juga bingung, kok enggak boleh mudik tapi boleh wisata," terang Rino.
Baca juga: Puskapol UI: Pertaruhan Kepala Daerah di 2024 Dilihat dari Pengendalian Covid-19 Pascalebaran
Pemerintah Terlihat Ingin Hati-hati
Menurut Rino, dalam kebijakan pelarangan mudik lebaran ini, pemerintah terlihat memainkan antara gas dan rem.
Pertumbuhan ekonomi sebagai gas, sedangkan kondisi Covid-19 sebagai rem.
Selain itu, Rino menilai kebijakan tentang mudik lebaran di tahun 2020 dan 2021 juga tampak agak berbeda.
Yakni dengan adanya beberapa kelonggaran perjalanan.
Baca juga: Puluhan Warga Satu Perumahan di Bogor Positif Covid-19 Pascalebaran, di Sukabumi 39 Orang Diisolasi
"Dalam kondisi seperti itu kemudian pemerintah di tahun 2021 ini tampaknya agak berbeda dengan 2020. Dengan memberi beberapa kelonggaran perjalanan."
"Kalau tahun 2020 kita lihat tidak ada istilah boleh wisata tapi enggak boleh mudik. Tapi kan enggak boleh mudik saja," ujar Rino.
Berdasarkan hal tersebut, Rino menilai pemerintah tampak ingin berhati-hati dalam mengambil kebijakan ini.
Mengingat dampak pandemi di sektor wisata sangatlah terasa.
Baca juga: Polda Metro Jaya Prediksi Puncak Arus Balik Lebaran Terjadi pada 21 dan 22 Mei
"Kalau melihat dari itu tampaknya pemerintah ingin berhati-hati, karena dampak dari pandemi ini di sektor wisata sangat terasa."
"Beberapa daerah yang tergantung pada pariwisata itu pendapatan daerahnya menurun. Bali misalnya, kemudian ada Jogja," imbuhnya.
Untuk itu, kemudian pemerintah berupaya untuk menjaga momentum lebaran ini supaya sektor wisata tidak jeblok.
Yakni dengan memperbolehkan tempat-tempat wisata dibuka.
"Oleh karena itu kemudian pemerintah berupaya untuk menjaga momentum supaya tidak jeblok wisatanya dengan memperbolehkan wisata," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani)
Baca berita lainnya tentang Lebaran 2021.