TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Sosial Tri Rismaharini menghadiri rapat kerja dengan Komisi VIII DPR terkait verifikasi dan validasi data kemiskinan di Indonesia.
Dalam rapat itu, mantan Wali Kota Surabaya itu dicecar terkait persoalan 21 juta data ganda penerima bantuan sosial (bansos).
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mempertanyakan hal itu karena khawatir tidak ada pembaruan data selama 10 tahun terakhir.
Padahal menurutnya, dalam kurun waktu tersebut banyak perubahan data kependudukan, seperti alamat tempat tinggal maupun kondisi perekonomian warga.
"21 juta itu basisnya apa? Kalau bisa per kabupaten/kota. Bagaimana? Karena memang harus kita lakukan dengan tegas ini, jangan sampai sekitar 110 kab/kota yang sama sekali hampir 10 tahun tidak melakukan perbaikan data," tanya Yandri kepada Risma dalam rapat kerja di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (24/5/2021).
Yandri lantas membeberkan beberapa kasus yang ditemukan oleh Komisi VIII terkait sengkarut data penerima bansos.
Saat kunjungan ke kantor Gubernur Banten, Komisi VIII menemukan polisi, tentara, anggota DPD mendapatkan bansos.
Padahal mereka seharusnya tidak masuk daftar penerima bansos.
"Tapi ada juga masyarakat yang tercecer, yang seharusnya dapat bantuan tapi terabaikan," ucap dia.
Selain itu, pihaknya juga menemukan kasus 3.000 paket bansos di Cianjur, Jawa Barat, tidak sampai ke penerima karena alamatnya berganti.
"Bantuan yang tidak bisa disampaikan karena apa? Alamatnya enggak tahu. Orangnya enggak bisa dijangkau," ucap dia.
Baca juga: Terpidana Suap Bansos Covid-19 Ungkap Berikan Fee Rp 9 Ribu Per Paket ke Orang Dekat Ihsan Yunus
Terkait itu, Komisi VIII DPR meminta Risma memperbaiki DTKS sehingga tidak ada lagi salah sasaran penerima bansos.
"Data yang bermasalah tidak boleh dipertahankan, tapi penting untuk memastikan bahwa basisnya, parameter, cara verifikasinya benar. Nah, ini yang ingin kami konfirmasikan hari ini," ujarnya.
Menjawab hal itu, Risma mengaku pihaknya sudah mengerjakan rekomendasi yang diberikan BPK, BPKP, hingga KPK terkait data kemiskinan yang bermasalah.
Ia mengungkapkan, perbaikan data kemiskinan sudah diminta sejak 2015. Namun, perbaikan tersebut ternyata tidak pernah dilakukan sampai ia menjabat sebagai Mensos.
"Saya mantan PNS, bukan hanya (mantan) wali kota. Sebetulnya kalau ada temuan (akan) diperbaiki di tahun berikutnya. Tapi yang terjadi didiamkan. Terus terang saya mumet harus diperbaiki (data) sejak (tahun) 2015," kata Risma di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (24/5/2021).
Risma menjelaskan, ada sejumlah data yang harus pihaknya perbaiki. Sejumlah data di antaranya adalah NIK ganda dan NIK invalid.
"BPKP menyampaikan pada pemeriksaan 2020, dan ini terjadi sebelum saya jadi menteri, NIK tidak valid (ada) 10 juta, nomor KK tidak valid 16 juta sekian, nama kosong 5.700 sekian, serta NIK ganda 864.000 sekian pada DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) penetapan Januari 2020," ungkap Risma.
Karena banyaknya data yang bermasalah, penyaluran bansos pun menjadi tidak tepat sasaran.
Bahkan ada banyak warga yang menerima bantuan sosial yang seharusnya tidak mereka dapatkan.
"Jadi Permensos Tahun 2020 bahwa penerima bantuan PKH (Program Keluarga Harapan) boleh bersama BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), tapi tidak boleh satu keluarga menerima dua jenis bantuan. Kemudian BPNT satu keluarga terima dua (jenis bantuan lainnya) tidak boleh. Kalau sudah menerima, tidak boleh menerima BST (Bantuan Sosial Tunai), seperti itu," jelasnya.
Risma juga mengungkapkan banyak menemukan NIK ganda. Ia mencontohkan ada warga bernama Yati dan memiliki 11 NIK.
Kasus yang sama terjadi pada warga bernami Nurhayati yang juga memiliki banyak nomor NIK dengan alamat yang berbeda.
"Jadi alamatnya beda tapi NIK-nya sama, tapi namanya juga satu. Itu yang kita ambil satu (data) Nurhayati yang layak, kemudian yang lain ditidurkan," tuturnya.
"Tentrem Wahyuni. Ini nerima tiga pak. NIK-nya sama. Jadi kita ambil satu Tentrem itu tetap dapat tapi memang tidak tiga. Jadi setelah kita cek juga baru kita tunjukkan dan kemudian nama pada capil kemudian tidak terpilih karena dia ganda. Ini contoh-contohnya," ujarnya.
Baca juga: Anak Buah Juliari Batubara Disebut Minta Jatah Rp 2000 Per Paket Bansos
Selain persoalan NIK ganda, Risma juga membeberkan data penerima bansos yang memiliki nama unik. Karena nama-nama yang unik itu, bank tidak bersedia menyalurkan bantuan.
Ia mencontohkan adanya calon penerima bernama IT, NA70 hingga THR. Risma memastikan nama tersebut sebenarnya asli sehingga mereka seharusnya menerima bansos dari Kemensos.
Tapi karena keganjilan nama itu, pencairan bansos mereka tertunda.
"Lah wong namanya memang IT di data kependudukan namanya IT, namanya NA70 nggak mau, NA70 namanya memang," kata Risma.
Selain nama, ada juga permasalahan tanggal lahir warga. Dia menemukan ada calon penerima yang tercatat lahir pada 2043 atau 2060.
Belum lagi alamat warga yang tidak memiliki nomor RT/RW.
"Ini ada lahir mohon maaf pak ini data lama jadi ada yang lahir tahun 2043, bank enggak mau, ada yang lahir 2060. Ini kan bukan kesalahannya penerima kan pak?" katanya.
"Ini tadi IT namanya. Dusunnya Null gak mau juga. Kemudian RW-nya Null. Ini gak ada datanya. Jadi gak bisa ini. Ini sekarang lagi kita rekap untuk kita betulkan," ujarnya.
Demi mengatasi hal tersebut, mantan wali kota Surabaya ini mengatakan seluruh pencairan bermasalah ini akan dialihkan ke PT Pos Indonesia (Persero).
Dia menyebut saat ini sedang dilakukan persiapan rekapitulasi data pencairan bersama PT Pos.
"Saya pindahkan, tiga juta sekian (calon penerima) karena bank tidak mau menyalurkan. Wong namanya memang IT Pak di kependudukan," terang Risma.
Selain itu, Risma juga berencana mengubah alur pencairan bansos.
Perubahan dilakukan karena jumlah penerima bansos yang dananya dicairkan perbankan kerap kali tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Kemensos.
Dengan perubahan ini, nantinya untuk rekapitulasi data penerima bansos, setelah penyaluran, bank harus melaporkan lagi pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Laporan diperlukan untuk pencocokan data sebelum dipublikasikan dalam bentuk informasi publik.
Adapun alur pencairan yang lama dimulai dari usulan bansos, masuk ke DTKS, kemudian data diolah oleh Ditjen Kemensos.
Setelah disalurkan, rekap data akan kembali dilakukan oleh Ditjen.
"Usulannya akan ada informasi publik, DTKS diserahkan kepada ditjen, kemudian ke penyalur, ke bank, kemudian bank kembali lagi ke DTKS karena kadang tidak sama Pak yang kami serahkan misal 9 juta, yang diserahkan bank hanya sekian juta. Masalahnya macam-macam," ujarnya.(tribun network/dit)