TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah sudah menyerahkan RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) kepada DPR RI.
Namun sampai sekarang belum terdengar DPR RI membahas RUU tersebut.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, hal itu perlu dilakukan, karena secara hukum pemerintah perlu melakukan perubahan UU untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta.
"Masalahnya, RUU tentang IKN belum dibahas DPR, tapi pemerintah sudah menetapkan lokasi ibu kota baru di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Paser Utara, Kalimantan Timur. Bahkan ground breaking ibu kota negara baru sudah direncanakan pada tahun 2021," kata Jamiluddin Ritonga dalam keterangannya, Jumat (4/6/2021).
Padahal menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, rencana pembangunan ibu kota negara baru akan masuk dalam APBN 2022.
Namun hal ini dibantah Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang mengatakan, pada Pagu Indikatif 2022 belum ada penganggaran untuk pembangunan ibu kota negara baru.
Jadi, rencana pembangunan ibu kota negara baru ini memang kontroversial dan kontradiksi.
Sebab, rencana pemindahan dan lokasi ibu kota negara baru sudah ditetapkan sementara payung hukumnya belum ada.
Hal itu menegaskan, kata Jamiluddin, rencana pindah dan penentuan lokasi ibu kota negara baru ditetapkan oleh penguasa. Padahal tidak ada pasal pada konstitusi yang mengamanatkan hal itu baik kepada penguasa maupun DPR RI.
"Karena itu, pindah tidaknya ibu kota negara, termasuk lokasinya, idealnya mendapat persetujuan dari rakyat secara langsung. Dalam negara demokrasi, seyogyanya persetujuan itu melalui referendum," ucapnya.
"Kenapa referendum ? Karena persoalan ibukota negara berkaitan langsung dengan kepentingan semua rakyat Indonesia. Karena itu, rakyat harus ditanya langsung apakah setuju ibu kota negara dipindahkan, termasuk di mana lokasi ibu kota negara baru.)," tambahnya.
Baca juga: Suharso Monoarfa : Pemindahan Ibu Kota Baru dilakukan Bertahap Mulai 2024
Jamiluddin menambahkan, kalau rakyat melalui referendum menyetujui pemindahan ibu kota dan lokasinya, barulah pemerintah bersama DPR RI membuat payung hukumnya. Cara inilah yang dikehendaki paham demokrasi.
Dengan begitu, rencana pemindahan ibu kota negara dan penetapan lokasinya yang ditentukan penguasa sangat tidak sejalan dengan kehendak demokrasi.
Karena itu, sebelum ada referendum maka rencana pemindahan ibu kota baru sebaiknya tidak hanya ditunda tapi dibatalkan.
"Pemindahan ibu kota negara baru di mana pun lokasinya tidak menjadi masalah bila hal itu sudah disetujui rakyat secara langsung. Dengan begitu, pemindahan ibu kota negara baru bukan karena kehendak penguasa," kata Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.
Tentu itu, akan dilaksanakan bila bangsa ini memang bersungguh-sungguh melaksanakan demokrasi.
"Semoga Pemerintah dan DPR RI menyadari hal itu sebelum membahas RUU IKN," tutupnya.