TRIBUNNEWS.COM - INI pengalaman unik yang dialami petinggi lembaga intelijen Indonesia, Jenderal Purn Yoga Soegomo, ketika masih bertugas sebagai Komandan Satgas Intel Kopkamtib dan Kepala Pusat Intelijen Strategis (Intelstat) Hankam, pada era 1970-an.
Pada suatu waktu Yoga pergi bersama Mayor Mufti, Sekretaris G-1 Hankam, menuju Dusseldorf, Jerman Barat, untuk memberikan briefing (pengarahan) kepada para atase militer RI di Eropa. Mereka menumpang pesawat Thai International Airways, yang transit di Bandara Changi, Singapura.
Bahan briefing ditempatkan di tas milik Mufti. Ketika transit tersebut, Yoga dan Mufti meninggalkan pesawat sedang tas masing-masing tetap berada dalam kabin. Namun ketika mereka naik kembali ke pesawat, sekira 40 menit kemudian, tas milik Mufti yang berisi dokumen penting untuk bahan briefing, telah lenyap dari tempatnya.
Padahal tas Mufti terlihat kusam sedang tas Yoga yang masih baru tetap ada di tempatnya. Meski begitu Yoga tetap melanjutkan perjalanan ke Jerman Barat.
Begitu terkejutnya Yoga setiba di Dusseldorf berita mengenai kehilangan tas dan dokumen penting itu sudah sampai di telinga Presiden Soeharto di Jakarta. Laporan yang diterima Presiden: dokumen hilang di hotel tempat Yoga menginap. Ada wanita penyusup masuk ke hotel itu.
Baca juga: Kepala Intel Jenderal Purn Yoga Sugomo Nekat Sarankan Presiden Soeharto Lengser
Tentu saja Yoga membantah tuduhan kisah unik itu. Yoga mengatakan tidak mungkin dirinya menginap di hotel. Akibat peristiwa kehilangan itu Yoga dikenai sanksi administratif. Untuk merehabilitasi namanya, Yoga diberi tugas oleh Panglima Kopkamtib Jenderal TNI Soemitro mengamankan pelaksanaan Pemilu 1971.
Ternyata, setelelah selesai tugas pengamanan pemilu, Yoga ditugaskan ke PBB dan harus menyerahkan jabatan sebagai Kepala G-1 Hankam kepada M Kharis Suhud. Sebelumnya, ketika ia baru saja menyerahkan jabatan sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) periode I (1969) untuk pindah ke G-1 Hankam, Yoga juga pernah menerima teguran.
Suatu pagi ia diberita tahu Ali Moertopo (saat itu pembantu dekat Soeharto), Presiden tampak marah karena ada yang melapor Yoga tidak mau pindah dari Bakin ke G-1 Hankam. Ia kemudian dipanggil Soeharto untuk menghadap ke Istana Merdeka.
Baca juga: Sebatang Rokok Bikin Hancur Hubungan Bisnis Liem Sioe Liong dengan Ipar Soeharto
“Apa benar kau berkata begitu (tidak mau dipindahkan dari Bakin ke G-1 Hankam),” tanya Presiden Soeharto. “Tidak. Sungguh saya tidak mengatakannya,” jawab Yoga.
“Mungkin kau mengatakannya sambil bercanda,” kata Soeharto terus mendesak. Yoga tetap membantah laporan itu. Ia kemudian menganggap laporan itu serius.
Mengapa? Menurut Ali Moertopo Presiden sempat menyatakan, “Kalau Yoga tidak mau, ya suruh keluar (mengundurkan diri) saja.” Itulah masa pahit yang pernah ia lewati.
Ali Moertopo pernah mengingatkan Yoga. “Ada yang tidak ingin melihat Pak Yoga berhubungan dekat dengan Presiden Soeharto,” kata Ali Moertopo.
Tidur menyanding senapan
Belakangan setelah terjadi insiden malapetaka 15 Januari 1974 (malari) di Jakarta, Yoga dipanggil pulang ke tanah air dari tugasnya di PBB, New York, untuk kembali menjabat sebagai Kepala Bakin. Kerusuhan 15 Januari 1974 mengakibatkan 11 orang tewas, 177 orang luka berat, serta 120 orang luka ringan.