TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerja keras dan upaya pemerintah dalam melakukan penanganan kasus kekerasan terhadap anak secara utuh belum usai.
Berdasarkan pelaporan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) hingga 3 Juni 2021 terdapat 3.122 kasus kekerasan terhadap anak.
Dari data tersebut, kekerasan seksual angkanya selalu mendominasi. Melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 pemerintah berupaya melakukan manajemen penanganan kasus kekerasan terhadap anak secara utuh dan terintegrasi, mulai dari pengaduan hingga pendampingan anak korban kekerasan.
“Persoalan pengelolaan kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi catatan bagi kami. Biasanya masih ada penanganan kasus yang tidak utuh dan selesai, dan tidak ada tindak lanjut lainnya. Pengelolaan kasus kekerasan terhadap anak harus tuntas dengan menggunakan manajemen penanganan kasus, mulai dari penjangkauan hingga pemberian pendampingan yang dilakukan secara utuh," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar dalam keterangannya, Sabtu (5/6/2021).
"Selain itu juga harus dilihat dampak dan manfaatnya, jadi tidak hanya aspek penegakan hukum dan kesehatan korban saja. Proses pemulihan juga menjadi kata kunci pada kasus kekerasan terhadap anak. Anak korban juga harus diperhatikan bagaimana kebutuhannya saat ia kembali ke sekolah dan masyarakat,” tambahnya.
Untuk menghadapi permasalahan kekerasan terhadap anak yang ada di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, Nahar mengatakan salah satunya perlu memperbaiki sistem pelaporan, pelayanan, pengaduan, serta menjadikan data pelaporan agar lebih akurat dan real time.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pengaduan tersebut agar bisa direspon dan ditangani oleh berbagai stakeholder yang memiliki tugas untuk melindungi anak, baik dari aspek penegakan hukum dan pendampingan anak korban.
Oleh karenanya, mulai tahun ini Kemen PPPA mengaktivasi layanan call center SAPA 129. Per Mei 2021 terdapat 3.149 pengaduan anak yang diterima pelaporannya oleh call center SAPA 129.
“Layanan ini tidak hanya menyediakan layanan pengaduan melalui telepon, namun sudah terintegrasi dengan layanan lainnya. Syarat dan kriteria penanganan kasus yang ditangani tentunya dengan memerhatikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membatasi kewenangan layanan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ada 6 (enam) layanan yang diberikan, diantaranya pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban,” tambah Nahar.
Nahar juga menceritakan kasus kekerasan terhadap anak yang telah dan sedang ditindaklanjuti Kemen PPPA dalam beberapa bulan terakhir.
Beberapa kasus tersebut diantaranya kasus orang yang mengaku sebagai Bruder yang diduga melakukan tindak pelecehan seksual terhadap anak-anak panti, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPPO) dan pelecehan seksual oleh anak Anggota DPRD Bekasi, dan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pendiri salah satu sekolah ternama di kota Batu, Malang, Jawa Timur.
Baca juga: Soroti Sinetron Suara Hati Istri Zahra, Kementerian PPPA Singgung Larangan Menikah Usia Dini
“Terkait kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pendiri salah satu sekolah ternama di Kota Batu, Malang, kami telah berkoordinasi dengan Dinas PPPA Kota Batu dan Dinas PPPA Provinsi Jawa Timur untuk memastikan anak korban mendapatkan pendampingan, dan memastikan proses hukum terduga pelaku. Kami juga telah menanggapi polemik tayangan sinetron Suara Hati Istri: Zahra. Hal ini merupakan pembelajaran bagi kita semua agar jangan melibatkan anak untuk hal-hal yang tidak layak, dan upaya pencegahan perkawinan anak agar bisa dilakukan sebaik-baiknya,” ujar Nahar.
Kemen PPPA mengapresiasi seluruh pihak yang telah mengupayakan dan memerhatikan kepentingan terbaik anak dan perlindungan bagi anak. Nahar juga berharap media massa dapat ikut berperan sebagai aktor perubahan sosial yang lebih baik bagi perempuan atau anak korban kekerasan.
“Pemberitaan terkait anak diharapkan dapat berpedoman pada Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, menampilkan peristiwa secara berimbang, dan haruslah menjadi alat transformasi sosial yang dapat membawa pengaruh pada perubahan sosial yang lebih baik bagi perempuan ataupun anak korban kekerasan,” harap Nahar.