Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pasal 281 dan 282 yang terkandung dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) multitafsir.
Bahkan kata Pengacara Publik LBH Jakarta Teo Reffelsen kedua pasal tersebut sangat berpotensi mengkriminalisasi profesi advokat.
"Kami berpendapat bahwa Pasal 281 dan Pasal 282 R-KUHP sangat berpotensi mengkrimninalisasi advokat dalam menjalan kerja bantuan hukum, sehingga dapat mengakibatkan terlanggarnya Hak Pencari Keadilan (Justice seeker)," kata Teo saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (7/6/2021).
Atas dasar itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan atau menghapus pasal tersebut dari RUU-KUHP.
Baca juga: Pasal 281 dan 282 RUU KUHP Dinilai Berpotensi Mengkriminalisasi Profesi Advokat
Sebab kata dia, fungsi dan tugas advokat yakni merupakan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi dalam kedua pasal tersebut malah cenderung ingin mengkriminalisasi para advokat.
Seharusnya kata Teo, pemerintah memastikan perlindungan kepada advokat, bukan malah membuat pasal yang demikian.
"Kami mendesak sebaikanya Pasal-pasal tersebut dikeluarkan dari R-KUHP, oleh karena Advokat merupakan Pembela Hak Asasi Manusia sebaiknya Pemerintah memastikan perlindungan terhadap Advokat bukan membuar Pasal kriminalisasi di R-KUHP," ucapnya.
Diketahui, dalam pasal 281 RUU-KUHP, berbunyi, setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:
a. Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Merespons hal itu, Pengacara Publik LBH Jakarta Teo Reffelsen mengatakan, dalam pasal tersebut sangat multitafsir dan sangat berpotensi mengkriminalisasi profesi advokat.
"Khususnya huruf a, yang dimaksud tidak mematuhi perintah pengadilan dan penetapan pengadilan dapat menjadi ruang untuk mengkriminalisasi Advokat padahal profesi advokat mempunyai kewajiban," kata Teo saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (7/6/2021).
Adapun kewajiban profesi advokat yang dimaksud Teo yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU Advokat.
"Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan," tutur Teo.
Sedangkan pada pasal UU 15 Advokat berbunyi, Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Sehinga kata Teo, advokat dalam menjalankan kewajibannya tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat secara perdata (imunitas).
"Sebagaimana pasal 16 UU Advokat Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No: 26/PUU-XI/2013 yang bunyinya, Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan," jelas Teo.
Hal senada juga disampaikan Teo dalam mengkritisi pasal 282 RUU-KUHP yang berbunyi 'Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang'.
a. Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
b. Mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.
Menurut Teo, pasal tersebut dalam formulasi delik sangat multitafsir, sehingga menurutnya bertentangan dengan asas Lex certa (rumusan delik pidana harus jelas) dan Lex stricta (rumusan delik pidana harus tegas tanpa ada analogi).
Tak hanya itu kata dia, tujuan dari Pasal tersebut juga tidak jelas, terlebih Advokat dalam menjalankan kewajibannya sudah tunduk pada UU Advokat.
"Dalam UU Advokat sudah diatur secara eksplisit mengenai batasan tindakan yang dapat dilakukan oleh profesi Advokat, sehingga tidak perlu lagi diatur dalam R-KUHP," tukasnya.