TRIBUNNEWS.COM - PENGALAMAN unik sekaligus menegangkan pernah dialami oleh Letjen Purn Sintong Panjaitan (terakhir menjabat sebagai Penasihat Bidang Hankam Presiden BJ Habibie), ketika prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tersebut ditugaskan di Papua pada era 1969.
Setelah melakukan pendaratan terjun payung di sebuah lokasi yang disebut Lembah X, Sintong sempat dikepung dan ditodong senjata oleh ratusan warga sebuah suku di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua.
Cerita berawal ketika Sintong Panjaitan, saat itu berpangkat Letnan Satu (Lettu), medapat tugas dari Pangdam XVII/Cendrawasih, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, untuk menyertai Pierre D Gaissseau, seorang sutradara yang ingin membuart film antropologi budaya tentang suku Lembah X. Kawasan di lereng utara Pegunungan Jaya Wiajaya tersebut diberi sebutan Lembah X karena saat itu belum diberi nama alias unexplored area.
Pangdam Sarwo Edhie membentuk Tim Lembah X dipimpin Kapten Feisal Tanjung (terakhir menjadi Panglima TNI di era Presiden Soeharto). Anggotanya Sintong Panjaitan bersama lima orang anggota Baret Merah lainnya.
Sintong kemudian mengajukan usul agar anggota tim ditambah dua orang prajurit asli Papua yang berkualifikasi para, yaitu Prajurit Dua Derek Vugu dan Prajurit Dua Mami. Diharapkan, ada kesamaan bahasa antara suku di Lembah X dengan bahasa di kampung halaman dua prajurit itu.
Belakangan ada tambahan anggota tim lagi yaitu Peter Prescott Jenning, mantan penerjemah Utusan Khusus Sekjen PBB untuk mengawasi Pepera (penentuan pendapat rakyat) di Irian Barat, Fernando Ortiz Sanz. Dengan demikian Jenning merupakan satu-satunya anggota Tim Lembah X yang secara formal pernah mendapat pendidikan ilmu antropologi secara lebih mendalam.
Hari H penerjunan ditetapkan tanggal 2 Oktober 1969. Pagi itu 16 anggota Tim Ekspedisi Lembah X telah siap di Bandara Sentani, sekira 40 km dari Kota Jayapura. Pada pukul 07.30 WIT, pesawat Dakota yang diterbangkan Captain Bonar Siahaan terbang menuju lokasi penerjunan, sekira 1 jam pernerbangan.
“Jangan-jangan nanti setelah mendarat saya dikeroyok oleh suku Lembah X,” ujar Sintong dalam hati seperti tertulis dalam buku ‘Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’, karya Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, Maret 2009.
Sintong sebagai penerjun pertama sick 1 yang seharusnya mendarat beberapa kilometer dari kampung, ternyata mendarat tepat di tengah kampung. Dalam waktu singkat ia telah dikepung oleh puluhan penduduk Lembah X.
Mereka mengancam menggunakan panah, tombak, kapak batu, dan pentungan kayu. Mereka berteriak-teriak dengan irama tertentu, “Snai e…Senai e….Snai e,” yang tidak diketahui apa maknanya. Sebagai tentara, reflek Sintong memindahkan senapan AK-47 dari posisi di sandang ke posisi depan. Alangkah terkejutnya Sintong ketika mengetahui magazin senapan itu lepas dari tempatnya.
Kain merah dan cermin kecil
Sintong kemudian melihat magazin berisi 30 peluru itu terlempar dan jatuh di antara kaki-kaki warga Lembah X. Beruntung seorang anak buahnya dapat mengambil magazin itu dan melemparkan kepada Sintong.
Sesuai arahan Pierre D Gaisseau, Sintong mengangkat kedua belah tangannya ke atas sambil tersenyum dan berwajah cerah untuk memberi kesan ia bersikap bersahabat serta tidak bermaksud jahat. Sintong kemudian melepas baju seragam loreng Kopassus untuk menarik perhatian.
Tak lama ada seorang tua keluar dari rumah sambil membawa sesuatu yang ditempatkan di atas kepalanya. Kemungkinan orang itu ketua suku. Ia menyerahkan barang itu kepada Sintong.
Ternyata barang itu berupa sepotong daging dan kulit berlemak. Warga Lembah X berteriak ramai-ramai, “Nyap-nyap e!!!Nyap-nyap e.” Meski sintong tak memahami arti kalimat itu, ia menduga nya-nyap e artinya makan lah.
Sintong langsung memakan daging mentah itu. Warga Lembah X yang melihat sikap Sintong tampak lega. Mereka bersorak-sorai melambangkan kegembiraan.
Di kemudian hari diketahui, seseorang yang mau makan pemberian mereka, diterima sebagai seorang sahabat. Setelah itu seorang warga setempat berjalan mengendap-endap mendekati Sintong kemudian menyentuh tangannya dari belakang.
Kemudian orang itu berbicara dengan kawan-kawannya. Mungkin ia mengatakan orang yang jatuh dari atas dan tidak mati itu sama seperti mereka.
Atas saran Pierre D Gaisseau, anggota tim membawa kain merah untuk pengikat kepala dan cermin kecil. Sintong kemudian membagikan dua benda itu kepada warga Lembah X.
Kejadian unik lainnya muncul ketika pesawat Dakota yang sebelumnya membawa tim, terbang di atas lokasi. Suara gemuruh pesawat itu mengakibatkan warga Lembah X lari tunggang langgang.
Kesempatan itu dipakai Sintong untuk mencari anggota tim lainnya. Di hari-hari berikutnya komunikasi antara anggota tim dengan warga Lembah X berlangsung lancar.
Sintong yang sangat komunikatif, dalam beberapa hari saja sudah mampu berkomunikasi dengan warga setempat, menggunakan bahasa suku Lembah X. Setelah kedatangan Sintong cs, jika di sebuah kampung terdapat kwitnang alias perempuan, di tengah jalan setapak dipasang rambu-rambu dilarang masuk, dengan menancapkan dahan di tengah jalan.
Sebenarnya para perempuan juga bersikap baik terhadap tim. Ketika para perempuan melihat Sintong akan lewat di sebuah jalan setapak, mereka memberi ketimun dan tebu yang ditinggalkan di tengah jalan. Sintong yang mengetahui hal itu pura-pura tidak tahu, namun para perempuan itu kemudian berteriak-teriak agar Sintong mengambilnya. (*)
*Dikutip dari buku ‘Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’, karya Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, Maret 2009.
Baca juga: Ani Yudhyono Berteriak Histeris dan Nyaris Pingsan di Kamar Mayat