TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasal tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden kembali muncul dalam draf RUU KUHP versi terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Dalam draf tersebut disebutkan bahwa penghinaan terhadap presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara dan apabila penghinaan dilakukan melalui media sosial maka ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni menilai, pasal tersebut tidak mengurangi kebebasan berpendapat masyarakat karena melakukan penghinaan jelas dilarang.
Dia berharap pasal ini dapat diterapkan untuk semua lapisan masyarakat bukan hanya presiden saja.
"Yang dilarang itu adalah penghinaan, karena menghina kepada siapapun tentu dilarang. Siapapun yang melakukan penghinaan secara langsung ataupun terbuka melalui media sosial jelas perilaku yang salah dan patut ada payung hukumnya. Kalau saya sih maunya pasal ini nanti tidak hanya diterapkan untuk Presiden ataupun DPR saja, tapi diterapkan untuk semua warga negara. Jadi jika ada yang mendapat perilaku penghinaan sudah ada aturannya yang jelas," kata Sahroni kepada wartawan, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: PSI Tolak Pasal Penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU KUHP
Sahroni menjelaskan bahwa masyarakat tetap diperbolehkan memberi kritik terhadap kinerja pemerintah seluas-luasnya namun tidak menyingung SARA, fisik, atau tidak sesuai fakta.
"Jadi siapa pun tetap bisa menyampaikan kritikannya terhadap pemerintah karena kritikan itu sikapnya membangun. Jadi itu bebas saja, selama tidak masuk ke ranah penghinaan apalagi sudah bersifat hoaks," ucapnya.
Lebih lanjut, Sahroni menyebut bahwa pihaknya masih menunggu draf RUU KUHP di bawa ke DPR oleh pemerintah agar bisa dibahas pasal-per pasalnya dengan sejelas-jelasnya.
"Kemudian, draf baru tersebut belum resmi ya karena belum dibawa ke DPR. Nah nanti pasal ini akan dibahas dan jadi perhatian kita bersama, bahwa perlu penjabaran yang lebih mendetail terkait poin-poin penghinaan yang akan dikenakan hukuman atau dilarang, supaya pasal ini clear dan tentunya tidak menjadi pasal karet," pungkasnya.