TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Melalui Kementerian Agama, pemerintah menekankan moderasi beragama sebagai nilai yang penting untuk menjaga corak kemajemukan di Indonesia. Konsep tersebut menjadi isu penting dalam penguatan prinsip kebangsaan dalam beragama dan sangat cocok dengan keberagaman masyarakat Indonesia.
Secara kultural, ide moderasi beragama sudah tertanam dalam warisan leluhur yang memberi arah untuk saling memahami dan memiliki rasa toleran kepada sesama yang berbeda keyakinan. Moderasi agama adalah beragama secara moderat dengan menoleransi keberagaman keyakinan.
Warisan leluhur tersebut tercermin pada kearifan lokal. Kearifan lokal mempunyai nilai-nilai luhur yang menjadi alat pemersatu masyarakat dan menjadi perekat keberagaman di Indonesia. Kearifan lokal juga dapat membangun moderasi beragama di Indonesia, salah satunya dapat dilihat di Indonesia Timur.
Penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama (BLA) Makassar Bidang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Kementerian Agama menunjukan kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat di wilayah Indonesia Timur.
Melalui observasi dan wawancara, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat setempat di wilayah Indonesia Timur, melihat efektivitas kearifan lokal dalam membangun iklim moderasi beragama masyarakat setempat, dan strategi pengembangan kearifan lokal dalam masyarakat.
Menurut penelitian tersebut, kearifan lokal bisa menjadi dibagi menjadi tiga ranah bentuk, yaitu nilai, norma, dan praktis. Ketiga jenis kearifan lokal tersebut digambarkan dalam bentuk budaya yang beragam.
Pertama, kearifan lokal yang mengandung nilai, di antaranya Bobahasaan Mongondow dan Pesona Bibir Manado dan dari Luwu Utara, Sulawesi Selatan ada awata itaba awai assanggoattal yang artinya ‘dari kitalah datangnya’ (setiap individu adalah sumber persatuan). Sementara itu, di Tongkonan Tanah Toraja Sulawesi Selatan, kearifan lokalnya disebut nilai-nilai moderasi karapasan atau musyawarah.
Kearifan lain tercermin pada suku Morenene Rumbia, Bombana, Sulawesi Tenggara, yakni kohala atau denda adat, dan kearifan lokal sintuwu marosol atau ‘hidup bersama’ yang menjadi simbol moderasi beragama di Poso, Sulawesi Tengah.
Kedua, kearifan lokal yang mengandung norma, yang terlihat pada kearifan lokal hukum adat di Ternate.
Ketiga, kearifan lokal bersifat praktis di antaranya legenda sebagai pewarisan nilai ‘fatanon’, ‘faradel’, ‘fanem’ yang artinya, ‘saling lihat, saling saudara, dan saling teman’ dan Masosor Manurung yang bisa diartikan sebagai penajaman keris atau penguatan memori kebersamaan.
Menurut para peneliti sepuluh Lektur, efektivitas nilai kearifan lokal juga dapat menciptakan kesadaran baru bagi masyarakat yang pernah berkonflik untuk kembali membangun perdamaian, seperti yang dilakukan di wilayah Pamona Poso.
Meskipun demikian, masih ada beberapa kelompok menjadikannya sebatas ritual dan seremonial, misalnya melalui festival, namun dampaknya tak signifikan.
Festival-festival keberagaman seharusnya dapat diamplifikasi melalui media sosial, dalam hal ini bisa dibantu oleh setiap pemerintah daerah. Sebab, kearifan lokal dalam bentuk ritual maupun sastra dapat dijadikan modal sosial untuk merajut persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan. Hal tersebut harus disebarluaskan.
Rekomendasi untuk tingkatkan moderasi beragama lewat kearifan lokal
Dalam upaya pengembangan moderasi beragama ke depannya, BLA Makassar akan merekomendasikan beberapa kegiatan untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal.
Pertama, pemahaman moderasi beragama dalam kearifan lokal dapat dilakukan melalui penyelipan falsafah hidup pada kegiatan pendidikan formal maupun non formal, Taman Pendidikan Al-Quran untuk penyuluh Islam, Pasraman untuk penyuluh Hindu, dan Sekolah Minggu untuk penyuluh Kristen, melalui Ditjen Bimas selaku pemangku kebijakan.
Kedua, penanaman nilai kearifan lokal dapat dilakukan dengan cara memasukkan sebagai mata pelajaran lokal melalui pendidikan berjenjang. Untuk tingkat madrasah, dapat dibuat Duta Moderasi Beragama. Selain itu, pada tingkat perguruan tinggi, dapat dilakukan penanaman nilai moderasi agama dalam lima menit pertama sebelum mata kuliah.
Ketiga, para pengkhotbah dapat menyisipkan moderasi beragama melalui dakwah kultural, yakni dengan mengutip dan menjadikan kearifan lokal potensial sebagai tema dari khotbah atau ceramah agama.
Terakhir, pemanfaatan teknologi juga dapat digalakkan dengan memuat konten-konten kreatif yang ditransformasikan dari nilai kearifan lokal yang ada. Contohnya, dengan membuat animasi dan film pendek tentang kearifan lokal yang menunjukan sikap moderasi beragama.