TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu pergantian Panglima TNI kembali muncul ke permukaan setelah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto segera memasuki masa pensiun.
Marsekal Hadi Tjahjanto yang dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 8 Desember 2017 (usia 54), pada November 2021 akan genap berusia 58 tahun.
Usia tersebut merupakan batas usia untuk pensiun bagi perwira TNI sebagaimana diatur pada Pasal 53 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (Selanjutnya disebut UU TNI).
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengatakan pihaknya memiliki beberapa catatan terkait munculnya isu lobi-lobi politik pihak tertentu untuk mendorong KSAD untuk memegang tongkat estafet komando TNI.
"Kemunculan isu lobi-lobi politik dalam pemilihan Panglima TNI perlu menjadi kekhawatiran lantaran berpotensi mengganggu profesionalitas TNI. Posisi pucuk pimpinan TNI perlu dipastikan steril dari upaya-upaya kepentingan atau intervensi politik kelompok tertentu untuk menghindari perebutan jabatan yang dapat menyebabkan ketidakkondusifan untuk internal TNI," ujar Ikhsan, kepada wartawan, Selasa (15/6/2021).
Selain itu, Ikhsan memaparkan bahwa kesterilan ini perlu untuk memastikan netralitas dan profesionalitas TNI, terutama Panglima TNI, dalam agenda-agenda politik praktis seperti Pemilu dan Pilkada, karena tidak memiliki hutang politik pada kelompok tertentu.
Sehingga, lanjutnya, pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.
Ikhsan juga menyebut Presiden Joko Widodo perlu memperhatikan rotasi antarmatra dalam pemilihan posisi Panglima TNI, sebagaimana diatur pada Pasal 13 poin 4 UU TNI bahwa jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Rotasi antarmatra ini perlu dilakukan untuk menghindari dominasi salah satu matra dalam kesatuan TNI, terutama dalam kaitannya dengan dominasi terhadap posisi Panglima TNI.
"Dominasi salah satu Angkatan tidak menciptakan suasana dan kondisi yang positif, karena tiap-tiap Angkatan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU TNI," kata dia.
Baca juga: Legislator PDIP Sebut Calon Panglima TNI Mengerucut 2 Nama
Presiden Joko Widodo, kata Ikshan, perlu melanjutkan trennya dalam melakukan rotasi antarmatra posisi Panglima TNI, sebagaimana telah diiniasi oleh Gus Dur pada masa pemerintahannya. Kedudukan dan kesederajatan antarmatra bisa kita pahami sebagai kesamaan hak tiap-tiap matra atas posisi Panglima TNI.
Setelah melantik Marsekal Hadi Tjahjanto (Matra AU) sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo (Matra AD), maka tentu rotasi matra berikutnya adalah AL.
"Presiden Joko Widodo perlu meminimalisir terjadinya dominasi salah satu matra sebagai Panglima TNI pascaorde baru, sebagaimana pernah dilakukan ketika melantik Jenderal Gatot Nurmantyo menggantikan Jenderal Moeldoko, karena keduanya berasal dari matra darat," ungkapnya.
Lebih lanjut, Ikhsan menilai pemilihan Panglima TNI juga perlu memperhatikan aspek usia. Jika usia calon Panglima TNI juga memasuki masa pensiun, maka akan berimplikasi kepada efektifitasnya sebagai Panglima TNI.
"Singkatnya masa jabatan sebagai Panglima TNI, misalnya 1 tahun, berpotensi menimbulkan ketidakefektifan implementasi atas perencanaan pembangunan dan pengelolaan organisasi TNI. Termasuk nantinya jika Panglima TNI berikutnya memiliki perencanaan yang berbeda," ujar Ikhsan.
"Indonesia sebagai negara maritim, memiliki kebutuhan mutlak atas pembangunan kekuatan pertahanan dibidang laut. Pelbagai ancaman, seperti konflik Laut China Selatan, menjadi cerminan atas kebutuhan pembangunan kekuatan pertahanan laut yang mumpuni, terutama pada bidang alat utama sistem persenjataan. Posisi matra AL sebagai Panglima TNI dapat mendorong perhatian dan penguatan pada aspek ini," tandasnya.