TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta resmi mengabulkan permohonan banding yang diajukan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut lantas menuai sorotan dan disayangkan oleh banyak kalangan.
Pasalnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman vonis Pinangki selama 6 tahun alias separuh lebih dari masa hukuman di putusan tingkat pertama.
Sebelumnya, Pinangki divonis 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Baca juga: Profil & Kekayaan Muhammad Yusuf, Hakim yang Potong Vonis Jaksa Pinangki dari 10 Tahun Jadi 4 Tahun
Baca juga: Membandingkan Vonis Jaksa Pinangki yang Didiskon 6 Tahun dengan Kasus Angelina Sondakh & Baiq Nuril
Dengan adanya potongan hukuman itu, Pinangki hanya perlu menjalani masa tahanan selama 4 tahun.
Keputusan pemotongan vonis Jaksa Pinangki itu diambil oleh lima hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Dikutip dari Kompas.com, kelima hakim tersebut adalah Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik, serta Muhammad Yusuf yang menjadi ketua majelis hakim.
Para hakim setidaknya memiliki lima alasan kenapa memotong masa hukuman Jaksa Pinangki dari 10 tahun jadi 4 tahun.
Satu di antaranya karena Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Lantas, seperti apa sosok dan kelima hakim tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengambil keputusan tersebut?
Inilah profil Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik, seperti dirangkum Tribunnews.com:
1. Muhammad Yusuf
Dari penelusuran Tribunnews.com di situs resmi pt-jakarta.go.id, Muhammad Yusuf adalah seorang Hakim Tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e.
Muhammad Yusuf lahir di Sumedang, 18 Oktober 1955.
Sebelum menjadi hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Muhammad Yusuf pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kendari.
Lantas, ia diangkat menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan.
Dikutip dari pt-banjarmasin.go.id, Muhammad Yusuf dilantik menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan pada 20 April 2010.
Sementara itu, dalam LHKPN-nya, Muhammad Yusuf terakhir kali melaporkan harta kekayaannya pada 5 Februari 2021.
Tercatat, Muhammad Yusuf memiliki harta kekayaan sebesar 2.405.392.839.
Baca juga: CEK eform.bri.co.id/bpum/banpresbpum.id, Cek Penerima BLT UMKM 2021 Tahap 3 & 2, Link & Cara Daftar
Baca juga: Tes DNA Pasien ODGJ Keluar, Ternyata Bukan Abrip Asep, Polisi yang Hilang Saat Tsunami Aceh
Aset berupa tanah dan bangunan menyumbang sebagian harta kekayaan Muhammad Yusuf.
Walau hanya memiliki dua tanah dan bangunan, tapi totalnya mencapai Rp 1,7 miliar.
Aset lain yang dimiliki Muhammad Yusuf adalah alat transportasi dan mesin yang mencapai Rp 326 juta.
Muhammad Yusuf juga masih memiliki sejumlah aset yang menambah pundi-pundi harta kekayaannya.
Rinciannya harta bergerak lainnya Rp 336.150.000 serta kas dan setara kas Rp 43.242.839.
2. Haryono
Masih dari pt-jakarta.go.id, Haryono saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Ia lahir di Malang pada 18 Agustus 1960.
Sama seperti Muhammad Yusuf, Haryono juga memiliki golongan Pembina Utama IV/e.
Dikutip dari elhkpn.kpk.go.id, Haryono memiliki harta kekayaan mencapai Rp 2.095.825.142.
Rinciannya, Haryono memiliki tiga bidang tanah di Sidoarjo dan Tangerang dengan nilai Rp 1,6 miliar.
Aset lain yang dimiliki Haryono adalah empat mobil dan empat motor dengan nilai Rp 372 juta.
Haryono masih memiliki harta bergerak lainnya sebesar Rp 3,4 juta serta kas dan setara kas sebesar Rp 120.425.142.
3. Singgih Budi Prakoso
Singgih Budi Prakoso juga menjadi satu di antara Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sebelum dipromosikan sebagai hakim tinggi, Singgih Budi Prakoso pernah menjabat sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Selain itu, ia pernah menjadi hakim sekaligus Wakil Ketua di Pengadilan Negeri Bandung.
Sebelum pindah ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Singgih Budi Prakoso juga pernah menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Semarang.
Dikutip dari pt-jakarta.go.id, Singgih Budi Prakoso lahir di Semarang, 31 Januari 1957.
Ia menjadi hakim tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e.
Dilansir elhkpn.kpk.go.id, Singgih Budi Prakoso termasuk hakim yang rutin melaporkan harta kekayaannya.
Ia terakhir kali melaporkan harta kekayaannya pada 25 Januari 2021 dengan jumlah kekayaan mencapai Rp 1.724.544.360.
Aset berupa tanah dan bangunan menyumbang sebagian aset Singgih Budi Prakoso, yaitu sebesar Rp 1,6 miliar.
Singgih Budi Prakoso memiliki dua bidang tanah dan bangunan yang berada di Sleman serta Bandung.
Aset Singgih Budi Prakoso lainnya adalah satu unit mobil Toyota senilai Rp 50 juta dan Gazele sepeda angin yang merupakan hasil warisan senilai Rp 1 juta.
Singgih Budi Prakoso juga memiliki aset berupa harta bergerak lainnya Rp 42,5 juta serta kas dan setara kas Rp 42.644.360.
Namun, Singgih Budi Prakoso juga memiliki utang sebesar Rp 11,6 juta sehingga mengurangi nilai asetnya.
4. Lafat Akbar
Lafat Akbar adalah hakim Ad Hoc yang bertugas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Hakim Ad Hoc adalah hakim yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diangkat untuk jangka waktu tertentu dan pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Masih dari pt-jakarta.go.id, Lafat Akbar lahir di Lombok Barat, 21 Mei 1961.
Lafat Akbar menjadi Hakim Ad Hoc di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sejak 2017.
Sebelumnya, Lafat Akbar pernah menjadi Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Bali atau calon Hakim Agung.
Sebagai hakim Ad Hoc, Lafat Akbar juga rutin menyetorkan laporan harta kekayaannya kepada KPK.
Per 21 Januari 2021, Lafat Akbar memiliki harta sebesar Rp 694.068.492.
Seharusnya, harta kekayaan Lafat Akbar mencapai Rp 1.155.068.492, tapi terpotong utang sebesar Rp 461 juta.
Lafat Akbar memiliki empat bidang tanah dan bangunan yang berada di Lombok Barat dan Mataram.
Nilainya mencapai Rp 898.750.000.
Selain itu, Lafat Akbar memiliki satu mobil dan tiga motor dengan nilai Rp 131,7 juta.
Aset lain milik Lafat Akbar adalah harta bergerak lainnya sebesar Rp 96,7 juta serta kas dan setara kas Rp 27.918.492.
5. Reny Halida Ilham Malik
Sama seperti Lafat Akbar, Reny Halida Ilham Malik juga merupakan hakim Ad Hoc di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Reny Halida Ilham Malik lahir di Jakarta, 3 Agustus 1959.
Reny Halida Ilham Malik adalah satu-satunya hakim perempuan dalam penanganan perkara banding yang diajukan Jaksa Pinangki.
Reny Halida Ilham Malik pernah mencalonkan diri sebagai hakim agung.
Di antara kelima hakim yang menangani perkara banding Jaksa Pinangki, Reny Halida Ilham Malik memiliki harta kekayaan paling banyak.
Dikutip dari LHKPN yang disetorkan ke KPK, Reny Halida Ilham Malik memiliki harta sebesar Rp 8.347.943.448.
Aset terbanyak yang dimiliki Reny Halida Ilham Malik bukan ada pada kepemilikan tanah dan bangunan, melainkan harta bergerak lainnya.
Harta bergerak lainnya milik Reny Halida Ilham Malik mencapai Rp 4.440.000.000.
Setelah itu, disusul kepemilikan satu bidang tanah dan bangunan di Jakarta Timur yang merupakan hasil warisan dengan nilai Rp 3,2 miliar.
Reny Halida Ilham Malik juga memiliki satu unit mobil dengan nilai Rp 380 juta serta kas dan setara kas Rp 327.943.448.
Alasan Pengadilan Potong Masa Tahanan Jaksa Pinangki
Sementara itu, terkait alasan pemotongan masa tahanan eks Jaksa Pinangki, majelis hakim memiliki alasan tersendiri.
Dalam putusan pengadilan yang ditayangkan laman Mahkamah Agung (MA), majelis hakim tingkat banding menilai putusan yang dijatuhkan majelis hakim tingkat pertama terlalu berat.
Hal ini terlihat dari pertimbangan hakim tingkat banding yang tertuang di halaman 141 putusan hakim tersebut.
Pertimbangan pertama, Pinangki sudah mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai Jaksa.
Oleh karena itu, Pinangki masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik.
Kedua, Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya.
Ketiga, Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Keempat, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini.
Kelima, tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itulah, berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Februari 2021 Nomor 38/Pid.Sus/TPK/2020/PN Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut harus diubah sekadar mengenai lamanya pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Pinangki.
Dengan demikian, Pinangki akan menjalani masa tahanan selama 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.
Jika denda tak dibayarkan, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Ilham Rian Pratama)