TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyebut Indonesia telah mengalami krisis komunikasi sejak pandemi Covid-19 tiba di tanah air.
Dan itu dilakukan pemerintah.
Hal itu disampaikan Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam Diskusi Daring bertajuk “Represi terhadap Media di Masa Pandemi,” seperti disiarkan di Channel Youtube LP3ES Jakarta, Senin (12/7/2021).
“Sebenarnya sejak pandemi ini tiba, kita sudah mengalami apa yang dinamakan krisis komunikasi. Jadi ada yang disebut komunikasi krisis, yang tidak dilakukan oleh pemerintah sejak awal. Sebenarnya dari sanalah sebenarnya semua ini bermula,” ujar Wijayanto.
“Kemudian alih-alih melakukan komunikasi krisis yang benar terkait pandemi Covid-19, yang kemudian terjadi adalah responnya adalah propaganda, manipulasi opini publik yang seakan-akan semuanya baik-baik saja,” jelasnya.
Baca juga: Hari Ini Kasus Positif Covid-19 di DKI Jakarta Kembali Pecahkan Rekor
Dia mengutip teori komunikasi kriris yang digagas Barbara Reynolds dan Matthew W Seeger (2005), bahwa salah satu model yang dapat digunakan untuk melakukan komunikasi yang efektif di masa bencana adalah Crisis and Emegency Risk Communication (CERC).
Model komunikasi itu terdiri dari lima tahapan yakni sebelum kriris (pre-crisis), awal krisis (initia event), selama krisis (maintenance), resokusi dan evaluasi.
Dia tegaskan, terpenting dari semua tahapan itu adalah masa sebelum krisis.
Pada pra krisis, komunikasi penting untuk memberikan pengetahuan awal, dan peringatan kepada masyarakat agar mempersiapkan diri saat wabah Covid-19 tiba.
Saat itu Covid-19 baru merebak awal di Wuhan, China pada Desember 2019 lalu.
Dia menjelaskan fase ini dimulai saat negara-negara lain telah mengalami wabah dan ketika negfara ASEAN juga sudah menemukan dan mengalaminya, seperti Singapura dan lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun sudah memperingatkan mengenai ancaman Covid-19.
Selain itu media dan jurnalis juga sudah memperingatkan bahaya Covid-19 melalui liputan mereka atas temuan riset dari Harvard tentang pemodelan matematika krisis di Indonesia.
Sayangnya, kata dia, pengetahuan awal itu dan persiapan itu gagal diberikan karea pada fase ini komunikasi buruk yang mengakibatkan kurangnya respon di awal (lack of responsivenes).
Fase ini berakhir ketika pemerintah Indonesia mengakui bahwa memang ada virus dan diumumkan di media.
“Ibarat Covid adalah musuh kita atau lawan kita, dalam perang melawan Covid, kita biarkan mereka masuk. Yang terjadi adalah negara kota ini menjadi porak-poranda. Dan ini yang terjadi hari ini yang kita saksikan,” tegasnya.
Dia mencatat ada banyak pernyataan blunder atau tidak serius pemerintah, sebelum virus corona itu diakui ditemukan di Indonesia dalam kasus Depok.
“Begitu banyak pernyataan blunder sebelum virus itu diakui tiba di Indonesia. Misalnya dari Menteri Kesehatan Terawan minta masyarakat tidak panik dan bilang ‘Tidak usah panik, enjoy saja.’”
“Kemudian Presiden Jokowi mengatakan pada 27 Januari 2020, ‘terlepas dari semua pemberitaan yang ada, virus corona tidak terdeteksi di Indonesia,’” kutipnya atas data dalam pemberitaan di sejumlah media nasional.
“Lalu bisa dilihat bagaimana respon tidak serius dari para menteri, yaitu Mahfud MD yang menyitir omongan Menteri Airlangga, ‘karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk,’” lanjutnya memberi contoh.
“Ini agar kita mengingat kembali bagaimana awal mulanya, kemudian kelakar Menteri Perhubungan, ‘Kita Kebal Corona Karena Doyan Nasi Kucing,’” ujarnya.
“Menteri Luhut juga menyatakan, ‘Corona?Corona masuk Batam? Hah? Mobil Corona kan sudah pergi dari Indonesia,” dia mengutip pernyataan Luhut dalam pemberitaan 18 Februari 2020 lalu.
Saat itu juga akata dia, Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan “Kita free (bebas) Corona karena minum jamu.”
“Jadi ini menunjukkan betapa ignore-nya kita di awal,” tegasnya.