TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah ditangkap karena pernyataan kontrversialnya tentang ketidakpercayaannya kepada pandemi Covid-19, Dokter Lois mengakui kesalahannya di depan penyidik kepolisian.
Dr Lois mengaku salah sejumlah opini mengenai Covid dalam menjalani seragkaian pemeriksaan intensif polisi.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi menerangkan bahwa terduga memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku dokter atas fenomena pandemi Covid.
"Segala opini terduga yang terkait Covid, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset. Ada asumsi yang ia bangun, seperti kematian karena Covid disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien," ungkap Brigjen Slamet Uliandi.
Brigjen Slamet menambahkan, opini terduga terkait tidak percaya Covid, sama sekali tidak memiliki landasan hukum.
"Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi Covid yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset," jelas Brigjen Slamet.
Baca juga: Tak Jadi Ditahan, Dokter Lois Owien Janji Tak Hilangkan Barang Bukti dan Tidak Ulangi Perbuatan
Dr Lois mengakui opini yang ia publikasikan di media sosial, membutuhkan penjelasan medis. Namun, hal itu justru bias karena di media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya.
"Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, kami dapatkan kesimpulan bahwa yang bersangkutan, tidak akan mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti mengingat seluruh barang bukti sudah kami miliki," ungkap Brigjen Slamet.
Baca juga: Sebar Hoaks Soal Covid-19, Dokter Lois Owien Harus Bertanggung Jawab Secara Akademis dan Hukum
Dia menambahkan, pernyataan terduga selaku orang yang memiliki gelar dan profesi dokter yang tidak memiliki pembenaran secara otoritas kedokteran.
Dalam klarifikasi Dokter Lois, ia mengakui bahwa perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi kedokteran.
"Yang bersangkutan menyanggupi tidak akan melarikan diri. Oleh karena itu saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang berkeadilan," ungkap Brigjen Slamet.
Berkaitan dengan reproduksi konten oleh terduga merupakan tindakan komunikasi yang dimaksudkan untuk memengaruhi opini publik.
Pihak Polri mengedepankan keadilan restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di masyarakat.
"Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau diistilahkan ultimum remidium," ujarnya.
Dia menegaskan, Polri dalam hal ini mengendepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain.
Brigjen Slamet yang juga Ketua Satgas PRESISI Polri ini berharap, upaya mengingatkan dokter ini agar bijak dalam menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi sosial.
"Indonesia sedang berupaya menekan angka penyebaran pandemi, sekali lagi pemenjaraan dokter yang beropini diharapkan agar jangan menambah persoalan bangsa. Sehingga, Polri dan tenaga kesehatan kita minta fokus tangani Covid dalam masa PPKM Darurat ini," ujarnya.
Sebagai informasi tambahan, Polri memberikan catatan bahwa terduga dapat diproses lebih lanjut secara otoritas profesi kedokteran.
Berstatus Tersangka
Sementara itu, Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menegaskan proses hukum terhadap dokter Lois Owien tetap berjalan meskipun tidak jadi ditahan penyidik Polri.
Ia menytaakan dokter Lois Owien masih menyandang status tersangka dalam kasus penyebaran berita bohong (hoaks) maupun membuat keonaran di masyarakat.
"Proses hukum tetap jalan," kata Agus saat dikonfirmasi, Selasa (13/7/2021) siang.
Soal tidak jadi ditahannya Lois Owien bukan berarti perkaranya ditutup. Dia mengatakan, polisi hanya memberikan penangguhan penahanan kepada tersangka.
"Yang bersangkutan diberikan penangguhan penahanan. Tetap tersangka sesuai pasal yang disangkakan kepada yang bersangkutan," kata dia.
Dokter Lois ditangkap pada Minggu (11/7/2021) sore kemarin sekira pukul 16.00 WIB usai memberikan pernyataan terbuka tentang korban meninggal dunia karena Covid-19 hanya karena interaksi obat.
Pernyataan dr Lois yang dipersoalkan polisi berbunyi "Korban yang selama ini meninggal karena Covid-19 bukan karena Covid-19, melainkan karena adanya interaksi antarobat dan pemberian obat dalam tata cara".
Setelah dilakukan pemeriksaan, Polri sempat memutuskan menetapkan Lois sebagai tersangka pada Senin (12/7/2021) malam.
Polisi langsung melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Kemudian keesokan harinya pada Selasa (13/7/2021), Polri berubah keputusan untuk tidak menjadi menahan tersangka.
Alasannya, tersangka berjanji tidak akan menghilangkan barang bukti dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Terancam 10 tahun penjara
Dokter Lois Owien dijerat dengan pasal berlapis dengan hukum maksimal 10 tahun penjara.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyampaikan pasal yang pertama adalah Dokter Lois diduga melanggar pasal tentang ujaran kebencian dan atau penyebaran berita bohong.
"(Dokter Lois melanggar) tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA dan atau tindak pidana menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat," kata Agus saat dikonfirmasi, Selasa (13/7/2021).
Selain itu, kata Agus, Dokter Lois juga dianggap menghalangi pelaksanaan penanggulangan yang telah diperjuangkan semua pihak untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Hal ini termaktub dalam pasal UU tentang wabah penyakit menular.
Tak hanya itu, Agus menyatakan dokter Lois juga dianggap telah menyiarkan pernyataan yang tak pasti atau berlebihan yang dapat menyebabkan keonaran di masyarakat.
Baca juga: Profil dr Lois Owien yang Ditangkap Polisi karena Tak Percaya Covid-19, Bukan Anggota IDI
"Tindak pidana dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah dan/atau tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat," ujar dia.
Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selain itu, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan Undang Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.