TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar dan Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mendesak Pemerintah segera melaksanakan vaksinasi bagi tenaga kesehatan di seluruh Indonesia karena mereka adalah garda terdepan penanganan pandemi di tanah air.
Hal itu dinyatakan Yusril dalam webminar yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Dalam forum yang diikuti hampir 2000 orang dokter dan pengamat itu, turut pula berbicara Ketua Satgas Penanganan Covid PB IDI Prof Dr Zubairi Jurban, Ketua PB IDI Dr Daeng M. Faqih dan Dr Norman Zainal.
Baca juga: Pasokan Terbatas, Kemenkes Tegaskan Vaksinasi Booster Hanya untuk Tenaga Kesehatan
Keterlambatan pemberian vaksin ketiga bagi nakes, menurut Yusril adalah masalah serius.
Terlebih selama pandemi lebih 600 dokter gugur dalam menunaikan tugas.
"Ribuan nakes lainnya mengalami nasib yang sama. Ketika awal pandemi, bahkan nakes bekerja dengan APD dibawah standar sehingga berisiko tertular," kata Yusril dalam keterangannya, Senin (2/8/2021).
Yusril menyebut, para dokter dan nakes bekerja menyabung nyawa.
Mereka kerja melampaui batas waktu kerja normal, kelelahan dan pembayaran insentif yang sering tertunda-tunda penyalurannya.
Baca juga: Alasan Masyarakat Umum Belum Perlu Terima Vaksin Booster
Pemerintah sejak awal mengatakan akan menggunakan vaksi Moderna untuk vaksin ketiga para nakes.
Vaksin ini dikabarkan telah tiba di negara kita pada tanggal 11 Juli yang yang lalu dan jumlah yang sudah lebih dari cukup untuk memvaksin 1,4 juta nakes yang ada di seluruh tanah air.
Namun, sampai akhir 31 Juli 2021, belum ada kabar bahwa para nakes telah divaksin ketiga.
Kalaupun ada, jumlahnya belum 1 persen dari jumlah nakes.
"Kalaupun tidak harus Moderna, vaksin lain yg tersedia dan boleh digunakan untuk vaksin ketiga saharusnya sudah lama digunakan," ungkapnya.
Akibat keterlambatan ini, kata Yusril, korban yang jatuh di kalangan nakes makin meningkat.
Jika korban nakes meningkat, maka masayarakat yang menjadi korban akan terjadi peningkatan pula.
Karena kematian begitu banyak jumlahnya, Yusril mengatakan, Pemerintah harus merenungkan ulang amanat konstitusi bahwa negara ini kita dirikan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Hak hidup dan termasuk hak memperoleh pelayanan kesehatan ketika seseorang sakit adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 45.
Kewajiban untuk melindungi hak-hal itu ada pada negara. Karena itu masalah ini menjadi masalah amat serius di negara ini sehingga mendapat banyak sorotan dari dalam maupun luar negeri.
Karena berkaitan langsung dengan tujuan pembentukan negara dan jaminan pelaksanaaan hak asasi manusia, maka menurut Yusril, semua lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penanganan Covid yang dilakukan Pemerintah harus bekerja.
"Tidak akan ada Pemerintah bekerja dengan baik tanpa pengawasan yang baik juga," imbuhnya.
Baca juga: Permintaan Meningkat, Pfizer dan Moderna Naikkan Harga Vaksin Covid-19 di Uni Eropa
Yusril pun mendorong IDI untuk berbicara dengan Komnas HAM agar lembaga itu mengkaji begitu banyaknya korban yang jatuh di kalangan dokter, paramedis dan korban yang lebih banyak lagi di kalangan masyarakat akibat penanganan Covid yang jauh dari memuaskan, ada potensi pelanggaran HAM yang berat atau "gross violation of human rights" atau tidak.
Masalah ini, tambahnya, sangat serius mengingat cakupan pelanggaran HAM berat itu begitu luas dan terus berkembang di dalam hukum internasional.
"Apakah kelalaian atau salah kebijakan oleh negara yang berakibat kematian massal dapat dikategorikan sebagai genosida atau tidak," ungkapnya.
Ia menyarankan agar Komnas HAM mengkaji masalah ini dengan mendengar masukan IDI.
Komnas HAM menurut Yusril memang sudah memberikan berbagai rekomendasi kepada Pemerintah dalam menangani Covid.
Namun pengkajian lebih dalam terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat tetap harus dilakukan.
Baca juga: 1.400 Nakes Gugur, IDI Kerjasama dengan Kemnaker Tanggulangi Risiko Nakes Terpapar Covid-19
Khusus terhadap keterlambatan vaksinasi ketiga dokter dan para nakes, Yusril mengatakan DPR seharusnya juga melakukan pengawasan yang sungguh-sungguh.
Terhadap masalah ini, beberapa anggota DPR dapat mengambil prakarsa inisiatif mengajukan interplasi kepada Pemerintah.
"Interplasi bisa meluas untuk mencari tahu sumber pendanaan yang dimiliki Pemerintah dalam menangani pandemi," terangnya.
Mungkin belum saatnya mengajukan angket atas hal ini dalam situasi yang mencekam sekarang ini.
Namun penggunaan interplasi saya kira sudah saatnya dalam rangka DPR melaksanakan kewenangan konstitusional yang ada pada mereka.