News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ditanya Mengatasi Tumpukan Perkara di Indonesia, Calon Hakim Agung Catur Iriantoro Jawab Begini

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Calon Hakim Agung Catur Iriantoro ditanya cara mengatasi masalah melimpahnya tumpukan perkara yang belum terselesaikan, dalam sidang Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 di kanal Youtube Komisi Yudisial, Rabu (4/8/2021).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Catur Iriantoro ditanya cara mengatasi masalah melimpahnya tumpukan perkara yang belum terselesaikan, dalam sidang Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021.

Pertanyaan ini disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.

Jimly bertanya terkait tumpukan perkara yang masih jadi masalah pengadilan di seluruh negara dunia, termasuk Indonesia.

Baca juga: Calon Hakim Agung Jupriyadi Ditanya Soal Pengurangan Hukuman Djoko Tjandra dan Pinangki

Ia mencontohkan di Amerika ada 10 ribu kasus per tahun, dan Jerman 20 ribu kasus per tahun. Namun kedua negara itu dapat menyelesaikan pekerjaan hukum itu secara tuntas.

Bahkan, peradilan AS dapat menyelesaikan Judicial Review (JR) yang diajukan eks Presiden mereka, Donald Trump hanya dalam waktu 5 hari.

"Soal tumpukan perkara, di semua negara perkara itu numpuk. Di Amerika ada 10 ribu kasus per tahun, di Jerman ada 20 ribu kasus per tahun, tapi semua beres. Bahkan ada Judicial Review seperti Donald Trump kemarin dalam waktu 5 hari selesai. Kalau saudara terpilih, tumpukan perkara di Indoensia, bagaimana mengatasinya?," tanya Jimly dalam sesi wawancara terbuka yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial, Rabu (4/8/2021).

Menjawab pertanyaan tersebut, Catur mengatakan percepatan proses peradilan dapat dilakukan dengan menuangkannya pada SOP.

Ia mengaku selama bertugas di Pengadilan Tinggi Pekanbaru, juga menerapkan SOP penyelesaian perkara.

Di mana perkara pidana dibatasi 11 hari kerja, dan perdata 18 hari kerja.

"Jadi ini saya praktikkan sendiri di pengadilan tinggi, di sana ada SOP bahwa penyelesaian perkara untuk pidana adalah 11 hari kerja, dan perdata 18 hari kerja. Sehingga kita sudah terbiasa kalau demikian harus menyelesaikan secara cepat," ujar Catur.

Baca juga: Ketika Calon Hakim Tinggi Artha Theresia Dicecar soal Pelanggaran HAM Berat

Lewat penyelesaian perkara secara cepat dan tetap menjaga kualitas putusan, Catur berharap tumpukan perkara di Indonesia dapat terkikis dan menipis.

"Mudah - mudahan dengan penyelesaian secara cepat, tentunya tumpukan perkara dapat diselesaikan manakala hakimnya siap," ucapnya.

Jimly kemudian mengatakan bahwa putusan cepat bisa berakibat pada putusan yang tidak berkualitas.

Menjawab hal ini, Catur menyebut dalam perkara yang sifatnya penting dapat dilakukan pengecualian yakni dengan menggelar lebih dari satu kali permusyawarahan majelis hakim.

"Berakibat putusan hakimnya tidak berkualitas karena main cepat cepat saja. Ada nggak pengalaman, berdebat antar majelis mengenai suatu perkara?," tanya Jimly.

"Dalam perkara yang memang sifatnya penting, kita musyawarah berkali - kali, artinya tidak sekali langsung selesai. Bisa dua tiga kali," pungkas Catur.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini