Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Faisal Djabbar meminta Presiden Joko Widodo selaku pemegang tertinggi kekuasaan untuk mendengar laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang menyebut tes wawasan kebangsaan (TWK) maladministrasi.
Seperti diketahui, LAHP maupun korektif Ombudsman terkait polemik TWK tersebut telah dibantah oleh pimpinan KPK.
Permintaan ini disampaikan Faisal, karena pimpinan KPK yang dikomandoi Firli Bahuri menyatakam keberatan atas LAHP Ombudsman.
Firli Bahuri Cs pun menyesalkan, Ombudsman ikut campur dalam proses hingga pelaksanaan TWK.
Baca juga: Akhirnya KPK Kirim Surat Keberatan ke Ombudsman
"Dengan segala hormat, Presiden Jokowi, selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan kebijakan, pembinaan profesi, dan pengelolaan ASN, patut mendengar dan menunaikan rekomendasi ORI tersebut," kata Faisal dalam keterangannya, Jumat (6/8/2021).
Faisal mengatakan, Presiden Jokowi berdasarkan temuan Ombudsman juga perlu melakukan pembinaan kepada lima pimpinan kementerian/lembaga yang terkait proses asesmen TWK, yakni Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri PAN-RB.
"Hal ini adalah dalam rangka pembenahan tata kelola pemerintahan yang baik," ujar Faisal.
Faisal memandang, temuan Ombudsman terkait polemik TWK yang menyebut maladminitrasi dinilai sudah sangat jelas.
Tetapi hal ini justru dibantah oleh pimpinan KPK, yang enggan dikoreksi dalam proses hingga pelaksanaan TWK.
"Semua tahapan, sejak dari landasan hukum Asesmen TWK, proses pelaksanaannya, hingga penetapan hasilnya, diduga kuat ada penyimpangan prosedur dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dengan begitu, Pimpinan KPK dan Kepala BKN wajib mengikuti saran korektif ORI," kata Faisal.
Baca juga: Ombudsman RI Tunggu Surat Keberatan KPK terkait Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan
Faisal menuturkan, Presiden Jokowi harus turun tangan karena berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2021, KPK secara lembaga adalah rumpun eksekutif yang berada di bawah kekuasaan presiden.
Selain itu, presiden adalah pemegang kebijakan tertinggi dalam menentukan pejabat pembina kepegawaian (PPK) dalam lingkup manajemen ASN.
"Jadi, PPK di semua lembaga negara adalah delegasi Presiden, termasuk Sekjen KPK. Maka, jika PPK di KPK tidak mengindahkan tindakan korektif ORI, Presiden disarankan mengambilalih kewenangan PPK di KPK," kata Faisal.
Terlebih dalam LAHP Ombudsma, meminta pimpinan KPK terhadap pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK, diberikan kesempatan memperbaiki melalui pendidikan kedinasan wawasan kebangsaan, lalu mereka dialihstatuskan menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.
"Hasil Asesmen TWK, menurut ORI, seharusnya menjadi bahan masukan untuk langkah perbaikan, bukan menjadi dasar pemberhentian pegawai KPK," papar Faisal.
Selain itu, dalam LAHP Ombudsman, lanjut Faisal, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN sama sekali tidak ada ketentuan mengenai konsekuensi atau semacam sanksi, apabila ada pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat dalam asesmen TWK tersebut.
"Sehingga salah satu mandat SK 652/2021 agar pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat menyerahkan tugasnya kepada atasan langsung tidaklah memiliki dasar hukum," kata Faisal.