News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Keberhasilan Atasi Pandemi, Faktor Penentu Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto di Kantor Kemhan Jakarta ketika mengikuti 8th ADMM plus secara virtual pada Rabu (16/6/2021).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana duet Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 mendatang terus bergulir.

Terbaru, terdengar kabar ada skenario yang bisa diambil Jokowi dengan memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tribun Network, pembicaraan skenario itu sudah berkembang di parlemen dan didiskusikan.

Opsi tersebut dapat diambil jika skenario perpanjangan tiga periode presiden urung dilakukan.

Meski demikian, kedua skenario itu tetap membutuhkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Perubahan konstitusi harus diusulkan minimal oleh satu per tiga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat atau 237 dari 711 anggota DPR dan DPD.

Sumber Tribun Network menyebut nantinya ada dua pasal dalam konstitusi yang akan berubah jika amandemen konstitusi dilakukan.

Yakni menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan dalam keadaan darurat di pasal 7, serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat.

Kondisi darurat yang dimaksud terkait dengan pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi yang dihasilkan dari pandemi itu sendiri.

Bahkan, sumber yang tak mau disebutkan namanya itu menilai duet Jokowi-Prabowo (Jokpro) bisa saja diwujudkan.

Sebab ada pembicaraan juga perpanjangan masa jabatan presiden, tidak diikuti oleh perpanjangan masa jabatan wakil presiden.

Baca juga: Disebut Menteri Berkinerja Paling Baik di Situasi Pandemi, Prabowo Justru Tak Nyaman, Ini Alasannya

Konon, penggunakan kondisi darurat guna memuluskan skenario-skenario itu akan dimunculkan dekat 2024 atau kemungkinan lebih cepat dari itu.

Jokpro Optimis Amandemen UUD 1945 Terealisasi 2022

Wacana duet itu bermula ketika Direktur Eksekutif Indo Barometer sekaligus penasehat komunitas Jokpro 2024, Muhammad Qodari, mengenakan kaus bergambar dua tokoh politik itu saat hadir dalam program Mata Najwa, Kamis (18/3/2021).

Berlanjut, peresmian komunitas Jokpro 2024 pun dilakukan di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (19/6/2021).

Qodari sendiri optimis amandemen UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden menjadi tiga periode sangat mungkin dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam UUD RI 1945 terpenuhi.

Apalagi kenyataan bahwa amandemen UUD 1945 sudah pernah dilakukan beberapa kali, yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

"Jadi kalau kita bicara kekuatan politik yang ada pada hari ini ya yang ada di parlemen, itu menurut saya sudah sangat mendekati syarat-syarat untuk peluang bisa terjadinya amandemen, begitu," ujar Qodari, Sabtu (13/8/2021).

Selain itu besarnya koalisi pemerintahan di parlemen juga mendukung skenario tersebut terjadi.

Dari 575 anggota DPR, sebanyak 427 di antaranya berasal dari koalisi pemerintah.

Angka ini sudah lebih dari 50 persen plus satu, yang menjadi syarat kehadiran anggota dalam sidang pengesahan.

Bahkan, UU Omnibus Law yang berat saja, kata Qodari, bisa lolos di parlemen.

"Kita udah melihat bagaimana perundang-undangan yang sulit misalnya seperti Omnibus Law segala macam kan disetujui begitu. Jadi saya melihat pekerjaan rumah kita itu ada di masyarakat," ujarnya.

Qodari memperkirakan target amandemen UUD 1945 terjadi sebelum dimulainya tahapan pemilu oleh KPU, yang diperkirakan akan terjadi sekitar pertengahan tahun depan.

"Tahapan pemilu itu akan dilaksanakan atau katakanlah dikibarkan benderanya itu pada pertengahan tahun depan, mungkin antara Juni atau Juli, nah kapan amandemennya? Ya kira-kira sebelum itu, supaya antara amandemen dengan tahapan pemilu ini dia tidak tabrakan juga mempermudah KPU," kata Qodari.

80 Juta Masyarakat Indonesia Diklaim Setujui Wacana Jokowi 3 Periode

Qodari mengklaim 80 juta masyarakat Indonesia menyetujui wacana Presiden Jokowi tiga periode.

Dia merujuk pada survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dimana 52,9 persen masyarakat Indonesia masih menolak dan 40,2 persen menyetujui wacana tersebut.

"Ada 80 juta orang hari ini. Karena 40 persen dari responden survei itu, kalau diproyeksikan ke 200 juta masyarakat Indonesia, berarti 80 juta. Itu sudah setuju dengan gagasan Jokowi-Prabowo/Jokowi tiga periode," ujar Qodari, kepada Tribun Network, Kamis (24/6/2021).

Persentase masyarakat yang setuju dengan wacana itu disebut terus mengalami peningkatan empat bulan terakhir.

Survei Charta Politica pada bulan Maret menyebutkan masyarakat yang tahu gagasan ini sebesar 37 persen, yang setuju 13 persen, tidak setuju 61 persen.

Baca juga: Sambut HUT Ke-76 RI, Relawan KIB Jokowi Dorong Kepedulian Sosial di Masa Pandemi Covid-19  

Sementara survei Parameter Politik Indonesia belum lama ini, menyebutkan masyarakat yang tahu gagasan Jokowi-Prabowo sudah 53 persen, kemudian yang setuju sudah 27 persen, yang tidak setuju turun jadi 52 persen.

"Bayangkan yang tahu naik 16 persen, yang setuju naik 14 persen, yang tidak setuju turun 9 persen," kata Qodari.

Senada, mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengaku mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden kepada orang-orang lingkaran Jokowi. Alasan pandemi jadi alasan Poyuono.

Menurutnya pemilu 2024 dikhawatirkan membuat kondisi Indonesia semakin parah.

"Nanti kalau ada pemilu, yang saya takutkan tambah parah, dan pascapilpres sudah tidak ada lagi peduli dengan kondisi kita. Penting bagi kita mengubah konstitusi, yaitu melakukan amendemen 1945 dengan mengubah masa jabatan presiden periode tiga kali, tapi harus lewat pilpres," kata Poyuono, kepada wartawan, Selasa (22/6/2021).

Jika periode tiga kali tak memungkinkan, Poyuono mengusulkan agar perpanjangan tetap dilakukan paling tidak selama tiga tahun.

Perpanjangan itu, kata dia, bukan menggunakan amandemen, melainkan dekrit presiden.

"Tapi kembali lagi, apakah mungkin dilakukan pilpres dan pileg, yang tentu akan menyebabkan kerumunan orang? Mungkin kalau saya mengusulkan masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang saja bersama DPR RI, dan itu mungkin bisa melalui dekrit presiden, bukan amendemen. Artinya, Covid-19 selesai, masa jabatan Pak Jokowi diperpanjang berapa tahun. Kemudian baru diadakan pilpres," ucapnya.

Pandemi Bukan Alasan Perpanjang Masa Jabatan Presiden

Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menegaskan alasan apapun tak bisa dibenarkan untuk memperpanjang masa jabatan presiden, termasuk alasan pandemi.

Menurutnya semua pihak harus mengikuti peraturan yang ada dan mempercayai pernyataan Presiden Jokowi yang juga menolak wacana tersebut.

"Jadi kita nggak perlu lagi merevisi, apalagi dengan alasan pandemi mau diperpanjang masa jabatan presiden, saya rasa nggak perlu," kata Hendri, kepada wartawan, Selasa (22/6/2021).

Perpanjangan masa jabatan presiden disebutnya adalah kemunduran bagi demokrasi. Wacana itu justru dinilai tidak berusaha menyelamatkan Tanah Air dari krisis yang dihadapi.

Apalagi, lanjutnya, Indonesia tidak pernah kekurangan pemimpin. Hendri mengharapkan partai-partai politik juga tak menyambut baik wacana yang bertentangan dengan keinginan Jokowi.

"Sesungguhnya yang memiliki ide itu bukan sedang menyelamatkan negara, justru sedang mendorong negara ini ke dalam sebuah kemunduran demokrasi dan jurang kehidupan yang tidak lebih baik dari saat ini," kata Hendri.

"Nah, mudah-mudahan parpol tidak ada yang berinisiatif melaksanakan itu karena itu sangat bertentangan dengan hati nurani rakyat. Selain itu, civil society masyarakat juga harus satu suara untuk maju berdasarkan UU. Sehingga tidak perlu ada penambahan, baik itu masa jabatan presiden maupun keterpilihan periode presiden," imbuhnya.

Baca juga: Legislator Golkar: Jadikan Makna Kemerdekaan Sebagai Optimisme untuk Berjuang Melawan Pandemi

Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai masa jabatan presiden tiga periode sangat berbahaya jika terwujud.

Salah satu bahayanya adalah semakin besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Bivitri merujuk pada pernyataan guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Lord Acton yakni 'power tends to corrupt'.

"Semakin lama seseorang menduduki satu jabatan, tidak hanya orangnya sendiri, tetapi jaringan kekuasaan yang terbangun pasti enggan kehilangan kedekatannya dengan kekuasaan itu," kata Bivitri.

Selain itu, bahaya lainnya adalah tidak terjadinya regenerasi kepemimpinan.

Hal tersebut memicu terhambatnya inovasi untuk Indonesia yang lebih baik.

Sebab, tidak adanya pergantian pemimpin bisa membuat negara tak bisa cepat mengikuti perkembangan pendekatan-pendekatan dalam upaya pemajuan kesejahteraan rakyat.

Padahal, kata dia, banyak sekali pemimpin-pemimpin baru yang potensial di Indonesia.

"Dan ini penting bagi demokrasi yang sehat," ujar Bivitri. (vjc)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini