TRIBUNNEWS.COM - Program Food Estate (FE) Sumatera Utara berbasis tanaman hortikultura yang digagas pemerintah melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi bersama Kementerian Pertanian dan kementerian terkait, sejak pertengahan tahun 2020 lalu hingga kini terus bergeliat.
Dari target 1.000 hektare pengembangan di tahun 2021, telah terlaksana penanaman seluas 215 hektare yang dimulai dari Desa Ria Ria Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan.
Tahun ini terus dilakukan upaya pembukaan lahan di area 785 hektare yang meliputi 3 Desa yaitu Hutajulu, Ria Ria dan Parsingguran 1.
Lokasi FE tersebut adalah pemanfaatan lahan tidak produktif bukan dari pembukaan hutan atau deforestri, berada di dataran tinggi, sekitar 1.400 mdpl sehingga secara agroklimat sesuai untuk pengembangan komoditas hortikultura seperti kentang, bawang merah, bawang putih, kobis dan aneka sayuran dataran tinggi lainnya.
Namun, karena lahan tersebut masih bukaan baru, perlu proses untuk sampai tahap menghasilkan produksi yang optimal.
Berkaitan dengan kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, dan kelayakan sosial dan ekonomi telah ditinjau sebelumnya oleh Balitbang Kementerian Pertanian.
"Saya terus mengamati dan mengikuti perkembangan Food Estate Sumatera Utara di Humbang Hasundutan yang dimulai tahun 2020 lalu. Dinamika di lapangan memang cukup kompleks namun demikian segala kebijakan yang telah dilakukan tetap bermanfaat bagi Pengembangan kawasan dengan mempertimbangkan kearifan lokal yang ada jika kawasan tersebut bisa terus dikembangkan. Apa yang sudah dimulai dengan pembukaan lahan dan penanaman perdana tahun lalu menurut saya tidak ada pekerjaan yang sia-sia," ujar Guru Besar Agroteknologi Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Noverita saat dihubungi (24/8/2021).
Ia melanjutkan, "Pada kenyataanya lahan tersebut bisa menghasilkan sekitar 5,7 ton per hektare bawang merah dan 2,7 ton per hektare bawang putih. Sedangkan hasil panen yang diperoleh dari kentang industri varietas Bliss rata-rata 10-15 ton per hektare pada pada panen musim tanam awal."
"Namun harus diakui, perlu upaya perbaikan disana sini agar lahan tersebut bisa tetap produktif. Kuncinya di perbaikan kualitas tanah melalui penambahan unsur organik, penerapan teknologi budidaya hingga pascapanen, peningkatan kapasitas SDM petani serta penataan kelembagaan usaha petani," kata Noverita.
Menurut Guru Besar USU tersebut, kolaborasi dan koordinasi pengelolaan kawasan perlu terus ditingkatkan.
"Penataan kawasan perlu memperhatikan aspek kearifan lokal misalnya kebiasaan petani hamijon yang selama ini menggantungkan pendapatannya dari hasil hutan dan kebun seperti kemenyan, andaliman dan kopi. Dibutuhkan pendampingan intensif untuk mengawal petani yang saat ini berbudidaya hortikultura," katanya.
Kedepan pihaknya juga mendorong penataan lahan yang mengedepankan aspek konservasi lahan dan air untuk menjaga keberlanjutan usaha tani. "Konservasi lahan dan air sangat penting diperhatikan. Teknologi irigasi hemat air seperti irigasi tetes yang saat ini mulai diinisiasi oleh pengelola kawasan, bisa saja diterapkan karena teknologi tersebut bisa menghemat biaya tenaga kerja," tandasnya.
Lembaga riset, badan litbang dan perguruan tinggi disebutnya bisa menjadi agen penting untuk mendorong pengembangan teknologi pangan di kawasan rintisan Food Estate.
"Terlebih untuk komoditi hortikultura yang secara karakter memang padat modal dan padat teknologi," imbuh Noverita.