Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyinggung perlunya pencantuman Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat amendemen UUD 1945.
Hal itu disampaikan dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI jelang peringatan HUT RI ke-76, Senin (16/8/2021).
Lewat pidatonya, Bamsoet menyatakan perlu ada amendemen terbatas UUD 1945 agar MPR ditambah kewenangannya untuk menetapkan PPHN.
Dia menjamin amendemen konstitusi hanya terbatas pada pencantuman kewenangan MPR menetapkan PPHN, meski banyak pihak menilai ada misi terselubung dibalik amendemen UUD 1945.
Partai Demokrat menjadi satu pihak yang curiga dan khawatir amandemen tersebut akan melebar ke pasal-pasal lain dalam UUD 1945.
Padahal mengubah UUD 1945 sama dengan mengubah jantung negara ini, perlu waktu untuk membahasnya.
"Ada risiko besar jika kita mengubah UUD 1945 untuk mengakomodir PPHN yaitu beberapa pasal dalam UUD 1945 akan ikut diubah termasuk pertanggungjawabannya jika presiden yang melaksanakannya. Jadi ada kekhawatiran, akan menerobos kemana-mana," ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, ketika dikonfirmasi, Rabu (25/8/2021).
Baca juga: Sekjen Golkar Ungkap Tak Bahas Wacana Amendemen UUD 1945 Saat Elite Parpol Bertemu Presiden Jokowi
Menurut Herzaky, jika PPHN dirumuskan maka perlu diketahui lebih lanjut siapa yang melaksanakannya.
Apakah hanya presiden atau semua lembaga negara wajib melaksanakannya, dan apa konsekuensi ketatanegaraan jika tidak dilaksanakan.
Karenanya pembahasan mendalam diperlukan.
Belum lagi, mengubah UUD dinilai menyita banyak sumber daya dan memerlukan partisipasi publik secara luas, sedangkan pandemi membatasi itu semua.
Dia menegaskan lebih baik anggota MPR/DPR RI mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.
"Karena itu, Partai Demokrat menilai wacana amendemen UUD 1945 di tengah pandemi, sangatlah tidak bijaksana dan tidak diperlukan. Kondisi negara sedang sulit, rakyat sedang susah, lebih baik waktu dan sumber daya yang ada digunakan untuk membantu rakyat yang sedang kesusahan karena pandemi," katanya.
Baca juga: Ketua Fraksi NasDem MPR Nilai Gagasan Amendemen Terbatas UUD 1945 Sulit Dilakukan
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi turut menyoroti usulan amendemen terbatas di masa pandemi Covid-19.
Baginya tidak ada urgensi untuk menetapkan hal tersebut saat ini.
Karenanya dia meminta agar perdebatan yang tidak produktif di tengah masyarakat terkait amendemen terbatas ini harus dihindari.
Akan lebih baik jika semua pihak fokus melepas diri dari pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.
"PAN menilai belum ada urgensi tentang amendemen terbatas. Jika hanya soal PPHN, sekarang kan sudah ada UU rencana pembangunan jangka menengah dan panjang sebagai pedoman dalam pembangunan nasional. Jadi, amandemen belum memiliki tingkat urgensi," ungkap Viva, ketika dihubungi.
Sikap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak jauh berbeda dari PAN.
Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani menegaskan pandemi bukan waktu tepat melakukan amendemen terbatas.
Timing menjadi hal penting dalam hal ini.
"Terkait amendemen terbatas, PPP akan melihat dulu PPHN-nya seperti apa, kemudian timing-nya bagaimana. Yang jelas kalau selama pandemi Covid-19, maka PPP melihat bukan waktu yang tepat," kata Arsul, ketika dihubungi.
Baca juga: Direktur Eksekutif Para Syndicate: Siapa yang Butuh Amendemen ? Ya Orang yang Berkuasa
Sementara Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menilai seluruh fraksi di MPR tidak akan terburu-buru dalam menyikapi wacana amendemen terbatas UUD 1945.
Mengingat situasi Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19.
Sehingga, hal yang harus difokuskan terlebih dahulu adalah penanganan Covid-19.
"Melihat kondisi Covid-19, saya yakin semua fraksi tidak akan terburu-buru. Karena yang diharapkan masyarakat itu sekarang ini bagaimana kita semua selamat dari pandemi dan dampak pandemi, urusan amendemen itu bukan urusan yang urgen," ujar Jazilul, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (19/8/2021).
Kendati tidak urgen, Jazilul mengatakan persoalan PPHN harus tetap dikaji oleh MPR.
Sebab itu merupakan rekomendasi MPR periode sebelumnya dan MPR periode saat ini juga menyetujui adanya kajian tersebut.
Amendemen UUD 1945 Harus Jadi Kebutuhan Rakyat, Bukan Elite
Ketua Fraksi Partai NasDem MPR RI Taufik Basari mengatakan wacana amendemen terbatas selalu berpotensi membuka kotak pandora untuk melakukan perubahan pada pasal-pasal lain.
Karenanya, Taufik menegaskan pentingnya menempatkan suara rakyat sebagai dasar ada tidaknya kebutuhan akan amendemen konstitusi.
Tidak bisa amendemen ini hanya ditentukan oleh pimpinan MPR atau sebagian fraksi di MPR saja.
"Tetapi karena sekali lagi, perubahan amendemen harus berbasiskan kepada adanya kebutuhan dengan keinginan yang kuat dari rakyat, maka suara rakyat harus terlebih dahulu didengarkan," ujar Taufik, dalam keterangannya, Rabu (25/8/2021).
"Kebutuhan amendemen harus menjadi kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan elite. Gagasan amendemen konstitusi harus menjadi hasil musyawarah dengan kepentingan rakyat yang dijalankan oleh MPR. Itulah yang harus menjadi legitimasi moral jika ingin melakukan amandemen kelima terhadap UUD NRI 1945," lanjutnya.
Taufik melihat keinginan untuk melakukan amendemen kelima secara terbatas yang muncul saat ini tidak berangkat dari sebuah evaluasi bersama rakyat.
Hal ini berbeda dengan dengan amendemen pertama hingga keempat tahun 1999-2002, yang merupakan satu rangkaian, yang didasarkan satu kebutuhan mendesak melakukan perubahan sistem bernegara setelah terjadi reformasi tahun 1998.
Karena itu menurutnya konsultasi publik yang masif harus dilakukan agar gagasan amandemen ini menjadi diskursus publik dan memiliki landasan kebutuhan yang kuat.
"Namun karena masa pandemi ini tentu tentu sulit kita berharap konsultasi publik dapat berlangsung optimal, karena itu tidak tepat jika mendorong amendemen konstitusi di tengah pandemi seperti ini," katanya.
Selain itu, gagasan untuk melakukan perubahan terbatas, yaitu untuk satu atau dua pasal sulit dilakukan.
Sebab, norma konstitusi saling terkait antara yang satu dengan lainnya.
Taufik menegaskan amandemen konstitusi berarti melakukan perubahan fundamental yang akan mempengaruhi sistem tata negara dan proses kebangsaan.
Baca juga: Lucius Karus Sebut Ketua MPR RI yang Paling Ngotot Perjuangkan Amendemen UUD 1945
"Keinginan untuk melakukan amendemen terbatas yakni hanya untuk mengakomodir kembalinya GBHN yang dulu sudah dihapus dalam amandemen ketiga, dengan memunculkan PPHN tidak bisa serta merta dilakukan begitu saja tanpa berdampak kepada sistem ketatanegaraan saat ini, seperti kedudukan MPR sebagai lembaga negara serta kedudukan dan pertanggungjawaban Presiden," katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan pembahasan amendemen UUD 1945 seolah menggambarkan sikap tidak peka dengan situasi pandemi.
Apalagi jika amendemen itu menyerempet pada wacana penambahan masa jabatan presiden.
"Membahas rencana amendemen konstitusi UUD 1945 pada saat ini tidaklah tepat. Karena rakyat sedang menghadapi duka dan kesusahan. Apalagi ketika yang dibahas adalah penambahan masa jabatan presiden. Jika dipaksakan rakyat tentu akan melihat ada pihak yang lebih mementingkan kekuasaan dari pada nasib rakyat," kata Aboe Bakar, dalam keterangannya, Kamis (19/8/2021).
Aboe Bakar juga mengimbau agar segenap elemen bangsa untuk fokus menangani pandemi pada saat ini.
Terlebih roadmap jangka panjang guna menangani Covid-19.
Dia mengharapkan jangan sampai rakyat melihat penanganan pandemi tak memiliki orientasi yang jelas seperti hanya berganti-ganti nama saja.
"Daripada membahas amandemen UUD 1945, lebih urgen jika saat ini kita menyiapkan roadmap jangka panjang penanganan Covid-19. Karena kita pahami salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Jadi tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan rakyat, ini harus kita pegang teguh," tambahnya.
Kritik soal Tak Adanya Konsep Terbatas dalam Amendemen UUD 1945
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai tak ada konsep terbatas dalam amendemen UUD 1945 ataupun dalam merevisi suatu Undang-Undang.
Menurutnya konsep terbatas ini hanyalah bahasa politik yang digunakan untuk meyakinkan publik agar amandemen dilaksanakan.
"Tidak ada konsep terbatas ini dalam ketentuan untuk melakukan perubahan terkait Undang-Undang maupun Undang-Undang Dasar," kata Lucius, dalam diskusi virtual bertajuk 'Siapa Butuh Amendemen', Minggu (22/8/2021).
"Jadi amendemen ya amendemen, revisi ya revisi aja, begitu bahwa kemudian ditambahkan sekarang ini terkait dengan amandemen Undang-Undang Dasar ini sesuatu yang justru saya pikir bahasa politik untuk sekadar meyakinkan publik untuk mendukung niat melakukan amendemen ini," katanya.
Berdasarkan ketentuan terkait tata cara untuk melakukan perubahan UUD, istilah terbatas juga tak dikenal.
Karenanya, Lucius juga menegaskan tak ada yang bisa menjamin bahwa amandemen hanya dilakukan untuk mengakomodasi PPHN.
Dia mencontohkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang sudah disahkan DPR RI.
Awalnya pembahasan RUU Otsus Papua itu direncanakan hanya merevisi tiga pasal saja. Namun pada akhirnya pasal yang direvisi melebihi rencana awal.
"Kita tahu bahwa bersamaan dengan niat amendemen demi mengembalikan PPHN dalam konstitusi kita muncul wacana lain ada jabatan presiden bahkan ada yang pernah mengungkapkan niat mengubah sistem pemilihan presiden dari langsung menjadi tidak langsung," katanya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)