News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Politikus NasDem: Tempatkan RUU PKS dalam Semangat Tujuan Bernegara

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Puluhan pengunjuk rasa dari Gerak Bersama Perempuan melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/12/2020). Mereka menolak aksi kekerasan terhadap perempuan dan mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem, Atang Irawan mengatakan setiap tahun kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan.

Bahkan tak hanya terjadi pada perempuan dewasa melainkan juga terhadap anak perempuan dan laki-laki.

Sayangnya, kata Atang, darurat kekerasan seksual tidak dipahami sebagai sesuatu yang mendesak yang harus segera diprioritaskan.

"Padahal, Presiden Jokowi sejak tahun 2016 telah menyatakan bahwa kejahatan seksual yang marak terjadi akhir-akhir ini sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani secara serius," ujar Atang Irawan dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/8/2021).

Politikus NasDem tersebut mempersoalkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tidak disebutkan oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2024 beberapa waktu lalu.

Baca juga: Menaker Ida Minta Anggota ASEAN Lindungi Pekerja Perempuan selama Pandemi COVID-19 

Dikatakan Atang, problem utama dalam politik legislasi adalah kebijakan-kebijakan politik dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) acapkali tidak ditempatkan dalam semangat tujuan bernegara.

Ia memandang seharusnya dalam Prolegnas memerhatikan prioritas tujuan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan demikian, tidak hanya melulu memprioritaskan demi kepentingan pemerintah, ekonomi, dan politik yang nyaris selalu meninggalkan RUU yang berakibat langsung kepada kepentingan rakyat.

Baca juga: Ketua Fraksi NasDem MPR Nilai Gagasan Amendemen Terbatas UUD 1945 Sulit Dilakukan

Jika tidak ada prioritas tahunan dan klasifikasi RUU dalam setiap Prolegnas yang didasarkan pada semangat tujuan bernegara, tandas Atang, maka nyaris RUU yang populis akan selalu tersingkir setiap tahunnya, apalagi politik legislasi tidak bisa terhindar dari kepentingan pragmatisme politik yang bisa saja meninggalkan kepentingan-kepentingan rakyat.

Ia juga menilai, sangatlah mengenaskan mengingat RUU PKS yang diinisiasi sejak tahun 2016 hingga saat ini belum memperoleh kepastian, bahkan sempat keluar dari Prolegnas 2020 yang kemudian ditetapkan kembali dalam Prolegnas 2021.

"Begitu lamanya pembahasan hingga entah sampai kapan? Apakah darurat kekerasan seksual yang selalu bertambah setiap tahun tidak dapat menyentuh moralitas kebangsaan, bahkan tidak dianggap urgen dalam politik legislasi," ungkapnya.

Baca juga: NasDem: Percha Leanpuri Dikenal sebagai Sosok yang Santun 

Dengan berbagai macam alasan, sambung Atang, dalam orkestrasi politik legislasi selalu dijadikan sebagai bahan mujarab untuk tidak mengesahkan RUU PKS, dari mulai terminologi, perbedaan socio-culture, bahkan alasan menunggu RUU KUHP ditetapkan kerap menjadi senjata pamungkas hingga pada sudut pandang ideologi.

Padahal, menurut Atang, ideologi merupakan dasar pedoman untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara, sangat jelas bahwa tujuan bernegara Indonesia salah satu yang pokok adalah memberikan perlindungan kepada rakyat.

"Bahkan dalam sila kedua Pancasila menegaskan 'kemanusiaan yang adil dan beradab', sebagai pondasi meletakkan derajat kemanusiaan dan memanusiakan manusia," kata Atang.

Ia menerangkan, sesungguhnya KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, belum bisa menjangkau perlindungan terhadap korban dan saksi.

Alasannya, ketiga UU tersebut hanya sebatas mengatur korban kekerasan dalam rumah tangga, anak dan perdagangan manusia.

Sedangkan aspek perlindungan korban dan termasuk upaya rehabilitasi korban sama sekali tak tersentuh.

Atang pun menegaskan bahwa penghisapan atas nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk ancaman kekerasan dan kekerasan sudah mencapai titik nadir.

"Diskursivitas bukan berarti dalam rangka mempertentangkan dan mempertajam perbedaan, akan tetapi sebagai bahan pertimbangan bagi para pembentuk UU agar bisa mengambil sikap tegas untuk mengakhiri darurat kekerasasn seksual yang kian kronis," jelas Atang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini