Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan KPK Watch Indonesia terkait pasal peralihan status pegawai (Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Kami menyayangkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan judicial review terkait pasal peralihan status pegawai KPK," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid lewat keterangan tertulis, Rabu (1/9/2021).
Padahal, kata dia, sebelumnya Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah menemukan pelanggaran dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, terutama dalam proses tes wawasan kebangsaan (TWK).
Ombudsman RI menyatakan penyelenggaraan TWK telah menyimpang secara prosedural, menyalahgunakan wewenang antar pejabat instansi negara, serta mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menjadikan TWK sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK.
Baca juga: Tok! MK Tolak Gugatan Pegawai KPK, Putuskan TWK Sudah Sesuai Konstitusi
Sementara, Komnas HAM juga menemukan 11 pelanggaran HAM yang terjadi selama proses TWK berlangsung, termasuk di antaranya pelanggaran hak atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, untuk tidak didiskriminasi, dan beragama dan berkeyakinan, yang dilindungi oleh UUD 1945 dan juga UU No. 39/1999.
Menurut Usman, ketentuan UU tentang tes dalam seleksi kepegawaian merupakan hal yang lumrah.
Namun jika ketentuan tersebut tidak definitif dan menimbulkan multitafsir yang memicu proses penerapan diskriminatif serta melanggar hak-hak pekerja.
"Maka norma yang mengatur tentang tes itu harus dibatalkan, termasuk hasil dari tes tersebut," kata dia.
Atas dasar itu, Amnesty International Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM yang menurut Usman, sudah tepat dalam menjalankan tugas mereka sesuai UU.
"Jadi Presiden wajib memulihkan status pegawai KPK yang diperlakukan tidak adil dalam proses dan hasil akhir TWK," ujar Usman.
Pada Selasa (31/8/2021), MK menolak permohonan judicial review UU KPK yang diajukan oleh KPK Watch Indonesia.
Dalam permohonannya, KPK Watch Indonesia meminta MK memutuskan frasa ‘dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan’ dalam Pasal 69B ayat 1 dan Pasal 69C UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional).
Baca juga: MK Sebut TWK Pegawai KPK Sah dan Konstitusional, LSAK: Harusnya Tak Jadi Polemik
Sebelumnya, pada 16 Agustus 2021, Komnas HAM mengumumkan bahwa penyelidikan mereka terhadap proses TWK pegawai KPK menemukan ada setidaknya 11 jenis hak asasi manusia yang dilanggar dalam proses tersebut, termasuk hak atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak diskriminasi.
Komnas HAM merekomendasikan bahwa proses penyelenggaraan asesmen TWK diambil alih oleh Presiden Jokowi dengan memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK.
Pada 21 Juli 2021, Ombudsman RI juga mengumumkan bahwa mereka menemukan adanya maladministrasi dalam proses pengalihan status pegawai KPK.
Amnesty mengingatkan bahwa hak-hak yang disebut dilanggar dalam proses asesmen TWK KPK, yaitu di antara lainnya, hak atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak didiskriminasi juga dilindungi oleh hukum HAM internasional.
Sebagai contoh, dijelaskan Usman, Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) menjamin hak individu untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk “hak atas kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan.”
Definisi diskriminasi juga telah dijabarkan dalam Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1999, sebagai “setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.”
"Dalam hukum nasional sekalipun, hak, di antara lainnya, atas pekerjaan, informasi, keadilan dan kepastian hukum, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak didiskriminasi, dijamin dalam UUD 1945 dan juga UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia," kata Usman.