TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan kebocoran data kesehatan milik pemerintah makin sering terjadi di Indonesia.
Misalnya pada Mei 2021 lalu BPJS Kesehatan mengalami pembobolan data. Sebanyak 279 juta data penduduk Indonesia yang berasal dari BPJS kesehatan diduga bocor dan dijual di forum hacker.
Kemudian beberapa waktu lalu juga terjadi kebocoran data pada aplikasi Indonesia Health Alert Card atau eHAC yang dikelola Kementerian Kesehatan, sebelum aplikasi itu digabung dengan aplikasi PeduliLindungi.
Baca juga: Wakil Ketua DPR: Pejabat Tak Cari Kambing Hitam soal Kebocoran Data
Dan yang teranyar adalah bocornya sertifikat vaksin milik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sejumlah pakar teknologi informasi sudah mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dengan pengamanan data penduduk.
Sebab, di masa digital seperti saat ini, data adalah hal rawan yang harus dilindungi supaya tidak disalahgunakan buat kejahatan siber.
Baca juga: Cegah Kebocoran, Pemerintah Perlu Membuat Aturan Perlindungan Data Pribadi yang Komprehensif
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber (ClSSReC), Dr Pratama Persada mengatakan, masalah kebocoran data saat ini kian mengkhawatirkan. Hal ini tak bisa dipandang enteng karena data yang bocor itu bisa saja digunakan oleh orang lain untuk daftar menjadi kelompok teroris.
Pratama mengatakan hal itu dalam diskusi virtual pada Senin (6/9/2021).
Baca juga: Takut Anggaran Bocor, Sri Mulyani Bentuk Komite Audit Kementerian Keuangan
"Kemarin saya juga sempat live dengan Wakil Ketua Komisi I DPR, sekarang sudah ada juga data kita ini digunakan untuk menjadi anggota kelompok teroris. Bayangin," kata Pratama.
Ia menjelaskan bahwa jika data masyarakat yang bocor digunakan untuk mendaftar masuk organisasi teroris, bisa dibayangkan jika seseorang yang sebenarnya tak pernah terlibat langsung, tiba-tiba terseret dalam kelompok tersebut.
"Jadi, ketika Densus 88 menggerebek mendapat list anggotanya, dicek anggotanya, ada KTP kita di sana. Ngeri enggak?" ucap Pratama.
"Kita enggak ngapa-ngapain, kita enggak pernah radikal, tiba-tiba kita dibilang teroris. Itu kan bahaya sekali," tambahnya.
Untuk itu Pratama menegaskan kebocoran data tidak bisa diremehkan. Termasuk soal kebocoran data eHAC.
"Makanya, jangan meremehkan data yang bocor. Saya kemarin sempat kesal dengan Kemenkes, dia bilang data yang bocor dari eHAC itu data lama. Ada 1,3, juta data loh. Dibilang data lama, padahal itu data valid," tegasnya.
Baca juga: Kemenkes Pastikan Tidak Ada Kebocoran Data di Aplikasi PeduliLindungi