News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Babak Baru RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Desakan Segera Diselesaikan 

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Babak baru Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah dimulai.

Kecaman kembali hadir ketika RUU tersebut berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Draf baru yang diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR pada saat Rapat Pleno Penyusunan RUU PKS pada 30 Agustus 2021 lalu itu justru menghilangkan atau mengubah sejumlah diksi, penjelasan hingga memangkas 85 pasal.

Awalnya draf RUU PKS per September 2020 berjumlah 128 pasal, namun jumlahnya menjadi 43 pasal saja di draf RUU TPKS per 30 Agustus 2021.

Baca juga: Menteri PPPA Minta Media Penyiaran Setop Glorifikasi Pelaku Pelecehan Seksual

Yang paling disoroti adalah diksi 'Penghapusan' pada judul draf RUU PKS berganti menjadi 'Tindak Pidana'.

Anggota Tim Ahli Baleg DPR RI Sabari Barus beralasan bahwa kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana khusus.

"Dari aspek judul, sesuai dengan pendekatan, maka kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Sehingga judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujar Sabari Barus, seperti dikutip dari kanal YouTube Baleg DPR RI, Jumat (3/9).

Selain itu, 'Penghapusan' terkesan abstrak, sebab memiliki arti menghilangkan.

Kata dia, penghapusan yang dimaksud dalam judul itu sulit tercapai.

Namun 'Tindak Pidana Kekerasan Seksual' akan memudahkan penegak hukum dalam menjalankan tugasnya menentukan unsur pidana pelaku kekerasan seksual.

"Jadi kami memandang, lebih tepat dengan menggunakan langsung RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dan ini akan lebih memudahkan penegak hukum juga dalam penegakannya karena langsung dirumuskan apa unsur-unsur perbuatan dan hukumannya," ucapnya.

Baca juga: Usut Kasus Kekerasan Seksual, KPI Diminta Libatkan Eksternal Investigasi Perkara MS

Definisi kekerasan seksual turut disorot, lantaran definisinya dalam draf RUU PKS lebih rinci ketimbang yang dituliskan dalam RUU PTKS.

Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal I poin 1 RUU PKS, dijelaskan kekerasan seksual adalah, setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.

Sementara pada Bab dan pasal yang sama dalam RUU TPKS, kekerasan seksual diartikan sebagai "Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis."

Tak hanya itu, kategori bentuk kekerasan seksual mengerucut menjadi 4 bentuk saja dari yang awalnya ditulis 9 bentuk.

Semula pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual yakni Pelecehan Seksual, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Eksploitasi Seksual.

Terkini, dalam draf terbaru hanya tercantum Pelecehan Seksual  (fisik dan nonfisik), Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Hubungan Seksual, dan Eksploitasi Seksual.

Baca juga: DPR Instansi Pemerintah yang Harta Kekayaan Anggotanya Tertinggi Dibandingkan Instansi Lain 

Sabari mengungkap penghapusan lima bentuk kekerasan seksual dalam draf RUU TPKS lantaran sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan KUHP (RKUHP) Empat bentuk lainnya disebut tak diatur oleh KUHP dan RKUHP.

"Jadi substansinya hanya empat. Jika dalam RUU yang lama ada sembilan jenis, setelah kami menyisir dengan melihatnya dalam KUHP dan RKUHP kami telah mensortir sehingga menjadi empat. Ini yang tidak ada irisannya atau tidak diatur dalam KUHP atau RKUHP jadi tinggal empat jenis," kata Sabari.

Diksi atau kata 'perkosaan' juga dihilangkan dalam draf teranyar. RUU TPKS lebih memilih memakai kata 'pemaksaan hubungan selsual' dibandingkan dengan 'perkosaan'. Hal tersebut sesuai yang tercantum dalam draf RUU TPKS Pasal 4 yang berbunyi;setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."

Dicermati 

Anggota Komisi VIII DPR RI Lisda Hendrajoni mengatakan perubahan yang terjadi dalam draf RUU PKS yang kini disebut RUU TPKS haruslah dicermati dengan seksama.

Diharapkan perubahan itu tidak menyimpang dari tujuan awal RUU dibuat dan justru memperkuat sekaligus menyempurnakannya.

"Perubahan bentuk kekerasan seksual dari sembilan menjadi empat perlu dicermati secara seksama dengan memperhatikan beragam bentuk kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini, termasuk kekerasan seksual secara daring,” ujar Lisda.

Baca juga: KPK: 70 Persen Pejabat Bertambah Kaya, 95 Persen LHKPN Pejabat Tak Akurat

Legislator Partai NasDem itu menyebut substansi RUU PKS sedari awal yakni perlindungan, pencegahan dan juga rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual tak boleh hilang.

Lisda menilai RUU ini harus segera disahkan, apalagi publik sudah menunggunya karena banyak predator di luar sana yang meresahkan.

"Segala perubahan yang terjadi harus didiskusikan secara komprehensif, dan melibatkan pakar. Saya berharap segala perubahan ini tidak menjadi alasan untuk menunda pengesahan RUU PKS ini, karena sudah ditunggu oleh publik. RUU PKS harus menjadi momok yang menakutkan bagi para predator," ucapnya.

Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKB Neng Eem Marhamah juga sepakat bahwa RUU ini harus segera diselesaikan pembahasannya pada masa sidang kali ini.

Sebab RUU PTKS dinilainya memiliki urgensi. Karena berangkat dari fakta yang ada, Neng melihat undang-undang yang ada tidak cukup kuat untuk membela para korban dari kekerasan seksual itu.

Baca juga: Diduga Korban Pelecehan Seksual di KPI, Pegawai MS Tak Berniat Selesaikan Kasus secara Kekeluargaan

Hanya saja melihat paradigma dan perspektif yang berbeda dari masing-masing pihak, tak dipungkiri menjadi kendala. Neng pun meminta agar para aktivis dan aliansi masyarakat sipil tetap mengawal RUU ini hingga disepakati semua pihak.

"Harusnya memang undang-undang ini segera diselesaikan dan kemudian dijadikan undang-undang. Memang dinamikanya masih berlanjut, tidak akan mudah, tetapi saya kira para aktivis juga para pemangku kepentingan harus tetap mengawal. Yang jelas ini penting, urgent itu sudah pasti. Saya ingin di masa sidang sekarang ini tuntas, cuma memang terkendala di paradigma yang berbeda, akhirnya terjadi perdebatan kembali," kata Neng. (tribun network/Vincentius Jyestha)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini