TRIBUNNEWS.COM - PDI Perjuangan (PDIP) menjadi sorotan buntut inkonsitensi sikapnya terhadap kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Wacana kenaikan PPN 12 persen ini merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
PDIP merupakan satu di antara partai yang menyetujui RUU HPP bersama Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP.
Sementara fraksi yang menolak adalah PKS.
PDIP dianggap seperti lempar batu sembunyi tangan untuk mencari simpati publik karena inkosistensi
PDIP Akui Tak Salahkan Prabowo
Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus menegaskan bahwa partainya bukan menolak penerapan kenaikan PPN 12 persen.
Fraksi PDIP, kata Deddy, hanya meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan itu dengan menyesuaikan kondisi ekonomi saat ini.
Deddy mengatakan, partainya tak bermaksud menyalahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru," kata Deddy.
"Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat, silahkan terus. Kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi," kata Deddy, Senin (23/12/2024).
Baca juga: PPN 12 Persen Berlaku Januari 2025: Ini Langkah Pemerintah Lindungi Daya Beli Masyarakat
Deddy menjelaskan, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) periode lalu.
Saat itu, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).
"Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," katanya.