Deddy menjelaskan, pada saat itu UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan global dalam kondisi yang baik.
"Kita minta mengkaji ulang, apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji," ujar Deddy.
PDIP: UU HPP inisiatif Pemerintahan Jokowi
Senada dengan Deddy, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP lainnya, Dolfie Othniel Frederic Palit, menyebut, UU HPP adalah inisiatif pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diajukan ke DPR pada 5 Mei 2021.
"UU HPP merupakan UU inisiatif Pemerintahan Jokowi yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021," kata Dolfie, Minggu (22/12/2024).
Ia menegaskan, delapan fraksi di DPR, termasuk Partai Gerindra, menyetujui pengesahan UU HPP pada 7 Oktober 2021.
Dolfie menjelaskan, UU HPP berbentuk omnibus law yang mengubah ketentuan pada sejumlah undang-undang, termasuk UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU PPN, dan UU Cukai.
Selain itu, UU HPP juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon.
Salah satu poin penting UU HPP adalah ketentuan bahwa tarif PPN mulai 2025 akan menjadi 12 persen, meningkat dari tarif saat ini yang sebesar 11 persen.
Namun, Dolfie menegaskan, pemerintah diberi ruang untuk menyesuaikan tarif tersebut dalam rentang 5-15 persen berdasarkan kondisi perekonomian nasional.
"Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN (naik atau turun)," jelasnya.
Dolfie mengingatkan, pemerintahan Prabowo nantinya dapat memilih untuk mempertahankan tarif PPN 12 persen atau melakukan penyesuaian.
Namun, ia juga menekankan bahwa kebijakan perpajakan tersebut harus mempertimbangkan kondisi Indonesia saat ini.
(Tribunnews.com/Milani/ Hendra Gunawan)