News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

WHO dan UNICEF Minta Pemerintah RI Segera Gelar Pembelajaran Tatap Muka

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PTM PELAJAR - Siswa mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) di UPT SD Negeri 2 Rajabasa, Senin (13/9/2021). Seiring penurunan status pandemi dari zona merah ke zona kuning atau dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 menjadi PPKM level 3 di Kota Bandar Lampung, pembelajaran tatap muka dilakukan secara terbatas yang diikuti hanya 50 persen siswa. Selain itu selama pembelajaran berlangsung selama 2x60 menit sehari dan berlaku di seluruh jenjang pendidikan setempat, mulai tingkat SD, SMP dan SMA .(Tribunlampung.co.id/Deni Saputra)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia didesak segera melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah.

Rekomendasi dari organisasi kesehatan dunia (WHO) dan Badan PBB untuk anak-anak (Unicef) tersebut keluar setelah selama 18 bulan sekolah di Indonesia memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

“Jadi, penting bahwa ketika kami membuka sekolah, kami juga mengendalikan penularan di komunitas-komunitas itu,” ujar Perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr Paranietharan dalam keterangan tertulis sebagaimana disampaikan dalam laman resmi WHO, Selasa (21/9/2021).

Baca juga: Nadiem Makarim: PTM Terbatas Jangan Mengejar Vaksinasi

WHO juga menyebut dengan protokol keamanan yang ketat, sekolah dapat menjadi lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak daripada di luar sekolah.

Dalam keterangannya, WHO juga menyampaikan, penutupan sekolah berdampak tidak hanya pada pembelajaran siswa. Tetapi juga pada kesehatan dan kesejahteraan di tahap perkembangan kritis anak yang dapat menimbulkan efek jangka panjang.

Selain itu, anak-anak yang tidak bersekolah juga menghadapi risiko eksploitasi tambahan termasuk kekerasan fisik, emosional dan seksual.

Baca juga: Nadiem Ingatkan Dampak Learning Loss Jika PTM Terbatas Tidak Dilakukan

Dalam keterangan tersebut, WHO maupun UNICEF juga menyoroti peningkatan pernikahan anak, dan kekerasan anak yang menunjukkan tingkat mengkhawatirkan. Peradilan agama mencatat kenaikan tiga kali lipat permintaan dispensasi perkawinan, dari 23.126 pada 2019 menjadi 64.211 pada 2020.

Sementara itu, perwakilan UNICEF Debora Comini menyampaikan, sekolah bagi anak-anak lebih dari sekedar ruang kelas.

Sekolah memberikan pembelajaran, persahabatan, keamanan dan lingkungan yang sehat. Menurutnya, semakin lama anak-anak tidak bersekolah, maka mereka tak lagi mendapatkan hal tersebut.

“Ketika pembatasan Covid-19 dilonggarkan, kita harus memprioritaskan pembukaan kembali sekolah yang aman sehingga jutaan siswa tidak menderita kerusakan seumur hidup pada pembelajaran dan potensi mereka,” kata dia.

Ia mengingatkan, ketika pembukaan sekolah dilakukan, maka sekolah harus memberikan respons pemulihan yang tepat guna meminimalkan dampak penutupan sekolah jangka panjang pada kehidupan anak-anak yang terjadi selama ini.

Baca juga: Menko PMK: Sekolah Wajib PTM Bila Guru Sudah 100 Persen Divaksin

UNICEF menyerukan mengenai tiga prioritas utama yang harus dilakukan sekolah terkait pemulihan tersebut, yakni:

1. Program yang ditargetkan untuk membawa semua anak dan remaja kembali ke sekolah dengan aman di mana mereka dapat mengakses layanan untuk memenuhi pembelajaran individu, kesehatan, kesejahteraan psikososial, dan kebutuhan lainnya.

2. Membuat rencana penyegaran kembali pembelajaran atau remedial untuk membantu siswa mengejar pembelajaran yang hilang sambil tetap melanjutkan materi akademik baru.

3. Dukungan bagi guru untuk mengatasi kehilangan pembelajaran, termasuk melalui teknologi digital.
UNICEF juga menyoroti pada masa anak-anak tidak bersekolah dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan, banyak anak menghadapi kendala dalam pendidikannya.

Wali Kota Bandung, Oded M Danial bersama Pembina Yayasan Daarut Tauhiid, KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) meninjau Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) di SMP Putri Boarding School, Pondok Pesantren (Ponpes) Daarut Tauhiid, Jalan Gegerkalong Girang, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (17/9/2021). Peninjauan ini dilakukan setelah acara simbolis penyerahan hibah bus dari Pemerintah Kota Bandung kepada Yayasan Daarut Tauhiid. Tribun Jabar/Gani Kurniawan (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Sebuah survei yang dilakukan pada kuartal 2020 di 34 provinsi dan 247 kabupaten menunjukkan bahwa lebih dari setengah (57,3 persen) kendala internet yang memadai sulit didapatkan.

Selain itu sekitar seperempat orang tua menyebut mereka kekurangan waktu dan kapasitas untuk mendukung anak-anak melakukan PJJ. Adapun hampir tiga dari empat mengaku khawatir ketinggalan pembelajaran.

Mendikbud Memohon

Mendikbudristek Nadiem Makarim mengingatkan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berkepanjangan dapat berdampak negatif dan permanen yang bisa menyebabkan anak-anak Indonesia sulit mengejar ketertinggalan.

Nadiem menyebut dampak tersebut antara lain dilihat dari aspek putus sekolah, penurunan capaian pembelajaran, dan kesehatan mental serta psikis anak-anak, di mana semuanya bisa menjadi risiko yang lebih besar.

"Kami mohon sekali kepada pemerintah daerah untuk menyelamatkan anak-anak kita dari learning loss dan agar sekolah-sekolah bisa menerapkan PTM terbatas sesuai dengan SKB Empat Menteri,” tutur Nadiem.

Mantan CEO Gojek ini menyampaikan, sesuai Instruksi Mendagri, vaksinasi PTK bukan syarat PTM terbatas. Sekolah yang berada di wilayah PPKM level 1 sampai 3, kata Nadiem, dapat melakukan PTM terbatas, terutama jika PTK di sekolah tersebut sudah divaksinasi.

"Sekolah wajib memberikan opsi PTM terbatas dan pembelajaran jarak jauh,” kata Nadiem.

Dirinya mengingatkan, orang tua atau wali tetap berhak menjadi penentu metode pembelajaran terbaik bagi anak. Guna memantapkan keputusan orang tua tersebut, Nadiem memastikan pemerintah terus mengupayakan vaksinasi bagi pelajar usia 12 tahun ke atas. Meskipun vaksinasi pelajar juga bukanlah syarat PTM terbatas.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD-Dikdasmen) Kemendikbudristek Jumeri menyebut jika proses pembelajaran tatap muka (PTM) saat ini masih sangat lambat. Pasalnya, kata Jumeri, dari data yang dimilikinya pada pekan lalu menunjukan bahwa sekolah yang telah menerapkan PTM berkisar 37 persen.

Namun, pada minggu ini dirinya hanya menerima progres naik 5 persen. Padahal, sejumlah wilayah telah masuk PPKM level 3, 2 dan 1. Dimana, PTM di sekolah boleh digelar.

"Dari angka itu 37 persen pada seminggu yang lalu, kemudian saat ini 42 persen, berarti progresnya sangat lambat," kata Jumeri.

Padahal, lanjut Jumeri, pihaknya berharap angka 37 persen itu adalah angka sebaliknya. Dimana, hanya 37 persen sekolah yang blm menggelar PTM.

"Nah kita harus membalik angka ini menjadi terbalik, yang 37 persen mestinya yang belum melaksanakan, yang 63 persen yang sudah mengaselerasi untuk segera buka PTM," ucapnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Jumeri (Tribun Jateng)

Jumeri pun menyadari, bahwa pertimbangan tak menggelar PTM di sekolah ada banyak faktor. Misalnya, ada daerah yang mempertimbangkan karena daerah itu atau kabupaten itu ada di wilayah aglomerasi.

"Mungkin gandengannya itu masih berbahaya. sehingga takut kalau dibuka ada klaster," kata Jumeri.

"Kemudian pertimbangan-pertimbangan yang konserfatif, kepala daerahnya konservatif, sangat hati-hati untuk tidak segera membuka. Ini tentu butuh komunikasi untuk semua pihak" jelasnya.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda juga mengkritisi lambannya sekolah tatap muka. Menurutnya anak-anak sekarang sudah sangat rindu pergi ke sekolah bukan ke mal.

"Setahuku anak-anak rindu sekolah, tidak rindu mal. Karena itu, di mata saya ya, yang membidangi pendidikan, rasanya belum perlu anak-anak kita untuk diberi akses, diberi kesempatan untuk ke mal," kata Huda.

Politisi PKB itu bahkan sesumbar berani mengatakan jika ada survei soal kerinduan anak-anak di masa pandemi, maka opsi rindu ke sekolah lebih tinggi ketimbang ke mal.

"Saya meyakini hasil surveinya kira-kira 99 persen anak-anak akan ingin kembali ke sekolah karena anak-anak rindu kembali ke sekolah," ujarnya.

Baca juga: PTM Baru Dilakukan di 40 Persen Daerah dengan Level PPKM 1-3

Dia meminta sebaiknya pemerintah fokus bagaimana mengembalikan anak-anak untuk belajar di sekolah.

"Jadi manfaatkan momentum ini ketimbang ke mal, mending balik ke sekolah dan ini dirindukan anak-anak," pungkasnya.

Pakar epidemiologi Griffith University Dicky Budiman mengatakan sekolah sangat vital dan strategis karena itu perlu diingat bahwa ada anak-anak yang bakal kehilangan waktu emasnya saat tidak pergi ke sekolah.
"Sekolah itu amat vital dan strategis, karena perlu diingat, ada anak-anak dengan usia yang mana mereka tidak bisa kehilangan waktu emasnya," kata Dicky.

Dicky menerangkan bahwa di masa tumbuh kembang anak yang berada di dalam masa emasnya, membutuhkan rangsangan multi sensorik, rangsangan untuk berinteraksi tatap muka, serta melakukan berbagai kegiatan fisik. Semuanya itu hanya dapat dilakukan dengan interaksi langsung.

"Selain itu, dalam setiap pandemi, sekolah itulah yang paling akhir ditutup, dan ketika pandemi membaik, bukan mal atau lainnya yang dibuka pertama kali, tetapi sekolah," jelas Dicky.

Harus dipahami, kata Dicky, ini adalah persoalan yang menyangkut generasi muda penerus, masalah human development index yang sangat vital.

"Akan sangat fatal dan salah kaprah, ketika sekolah ditutup, anak-anak belajar di rumah, sementara aktivitas orang dewasa dilakukan, orang tua kembali kerja, atau ibunya ke mal," ungkap Dicky.

Bahkan, kondisi demikian bisa menempatkan anak pada posisi yang semakin terbelakang. Selain itu, kata Dicky, kondisi ini juga tidak akan efektif dalam melandaikan kurva. Dicky mengatakan kurva Covid-19 akan turun, saat sekolah ditutup, maupun fasilitas umum lainnya ditutup atau tidak ada aktivitas.

Namun demikian, harus dipahami bahwa saat sekolah tatap muka dibuka kembali, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah, harus berpihak pada pendidikan, berpihak pada anak.

"Caranya adalah dengan penguatan intervensi seperti 3T, 5M, dan vaksinasi, dengan peningkatan PPKM yang diarahkan ke level 1, supaya aktivitas sekolah, bekerja atau aktivitas lainnya bisa dilakukan dengan aman, tanpa berpotensi memperburuk situasi pandemi," ujar Dicky.

Sayangnya, kata Dicky, hal ini belum semua dilakukan oleh setiap daerah. Level PPKM di setiap daerah saat ini, menurut Dicky, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, maupun Jawa Timur, Yogyakarta atau sebagian Jawa Timur, variasi levelnya masih sangat tinggi. Perlu diingat, kata Dicky, masalah keamanan sekolah tatap muka bukan hanya bicara soal kurikulum yang disesuaikan, maupun infrastruktur kelas yang disesuaikan untuk mencegah penularan Covid-19.

"Akan tetapi, laju penyebaran Covid-19 di komunitas atau masyarakat juga harus dikendalikan, ini yang juga menjadi kewajiban pemda. Selain itu, sekolah juga harus punya pendamping, yaitu Dinkes (dinas kesehatan), petugas kesehatan puskesmas atau dokter," jelas Dicky. (Tribun Network/den/fah/kps/who/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini