Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen (Purn) TNI Agus Widjojo meluncurkan buku semi-biografi yang menceritakan tentang kehidupannya selama berkarier di militer.
Adapun buku tersebut berjudul 'Tentara Kok Mikir? Inspirasi Out of the Box Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo'. Buku itu dituliskan oleh jurnalis senior Bernada Rurit.
Baca juga: Kompolnas Sebut KKB Berupaya Rusak Citra yang Dibangun Pemerintah Soal Kondisi Papua
Menurut Agus, buku ini tidak hanya berisikan kehidupan pribadinya saja.
Namun, buku itu dikemas dengan nilai human interest serta dibubuhi pengetahuan dan sejarah untuk bisa menambah wawasan pembaca.
Baca juga: Kurangi Risiko Penularan Covid-19 di Sekolah, Perhatikan Manajemen Kualitas Udara dalam Ruangan
"Saya banyak belajar juga bahwa awalnya itu saya menganggap enteng. Tetapi ternyata tidak. Dia bisa meramu antara human interest dan sejarah. Peristiwa sejarah dan pengetahuan dan tentunya nyerempet bahwa buku ini nyaris seperti biografi," kata Agus dalam peluncuran buku secara daring, Sabtu (25/9/2021).
Baca juga: Kodam Jaya Dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Depok Gelar Tentara Manunggal Membangun Desa
Agus menyampaikan judul buku Tentara Kok Mikir juga diambil karena kisah pribadinya yang kerap dijuluki tentara pemikir. Pasalnya, dia bukan merupakan seorang prajurit yang hanya menuruti perintah atasan.
Lebih jauh, Agus memang dikenal sebagai tokoh intelektual militer. Dia kerap membuat gagasan baru untuk perkembangan militer di Indonesia.
"Tentara pemikir itu dikatakan nyeleneh. Bahwa memang betul itu nyeleneh. Tapi kalau itu sebenarnya menimbulkan bermacam reaksi terutama dari kalangan tentara. Emangnya tentara tidak mikir? bukan itu sebenernya. Itu hanya istilah yang banyak ditujukan kepada saya. Karena saya dianggap terlalu banyak mikir," jelasnya.
Agus menyatakan buku tersebut juga memiliki narasumber-narasumber yang otentik terkait suatu peristiwa sejarah. Pasalnya, sejumlah narasumber telah wafat saat buku tersebut dibuat oleh penulis.
"Saya baru pertama kali mengetahui bagaimana narasi pengangkatan jenazah korban pahlawan revolusi yang ada di lubang buaya pada tanggal 4 Oktober waktu itu. Di situ dituangkan menit demi menit karena punya narasumber yang otentik. Banyak sekali wawancara narasumber yang tepat pada waktunya. Karena tak lama narasumbernya wafat," jelasnya.
Agus meyakini buku tersebut nantinya akan diterima oleh berbagai kalangan. Termasuk, kata dia, bagi pembaca awam atau kalangan milenials.
"Ini yang membuat buku ini menarik tidak bosan. Karena tidak terus terusan tentang saya. Divariasi. Kemudian juga setelah itu kembali yang tentang diri saya hanya yang lucu-lucu. Karena saya tekankan human interest. Karena buku ini buku yang ringan dan lucu. Bukan buku yang serius," tukasnya.
Sementara itu, Bernanda Rurit selaku penulis buku itu mengaku tak mudah menuliskan tentang seorang pribadi Agus Widjojo. Dia harus berteman dengan jenderal TNI itu selama 21 tahun lamanya.
"Untuk menjadi sebuah buku ini, selain saya mengenal selama 21 tahun, tetapi menerima kepercayaan dari Pak Agus itu juga cukup sulit. Dan saya rasa Pak Agus bukan orang yang mudah percaya ke seseorang, sehingga saya senang dan cukup bangga Pak Agus mempercayakan tulisan ini," jelasnya.
Bernanda menilai Agus Widjojo sebagai sosok tentara yang kritis dan moderat. Itulah alasan dirinya memilih putra dari salah satu Pahlawan Revolusi Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo itu sebagai tokoh militer untuk dituliskan ke dalam buku.
"Saya melihat jarang ada tentara yang suka membaca, berpikir kritis, sangat moderat dan ternyata di dalam buku ini saya agak membuka dapur redaksi saya bahwa orang tidak percaya bahwa Pak Agus tidak pernah mengarahkan jangan ini, jangan itu. Saya cukup kaget karena militer dikenal sebagai orang yang banyak aturan dan kaku," tukasnya.