TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keadilan terhadap korban pemerkosaan kembali menjadi sorotan publik.
Akhir-akhir ini viral di media sosial soal penghentian kasus dugaan pemerkosaan anak oleh Polres Luwu Timur yang dilakukan oleh oknum ASN.
Banyak yang menilai proses hukum yang tidak wajar.
Jubir muda PAN Febri Wahyuni Sabran menilai kasus pelecehan seksual sering kali ditutup dengan alibi kurang bukti yang cukup.
Kondisi ini tentu tidak memihak kepada korban yang masih trauma.
"Sering sekali dalih penutupan kasus pelecehan seksual karena tidak cukupnya bukti, kasus terhenti begitu saja sedangkan korban masih memiliki trauma. Kita bisa lihat data KemenPPPA tahun 2020, dimana 7191 kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan sebagian besar kasus terhenti di tengah jalan. Sungguh sebuah kondisi yang jauh dari keadilan", ujar Febri dalam keterangannya, Sabtu (9/10/2021).
Baca juga: Kompolnas Usulkan Korban Ajukan Praperadilan Soal SP3 Kasus Tiga Anak Saya Diperkosa
Melihat kondisi ini, Febri meminta kepolisian agar kembali membuka kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur dan meminta proses jalannya penyelidikan dilakukan secara terbuka dan adil.
"Kasus ini harus di kawal kepolisian. kalau perlu kasusnya di buka lagi dan proses penyelidikan dibuka ke publik, dengan ini kita berharap agar aparat dapat berlaku adil terhadap korban" tegas Febri.
"Saya juga mengharapkan sinergi sejumlah pihak seperti kemenPPPA, LBH, psikolog bahkan pegiat dan aktivis perempuan untuk terus mengawal proses hukum agar berjalan lancar dan memperhatikan kondisi korban, baik dari sisi medis maupun psikologis", tambahnya.
Febri juga menambahkan pentingnya edukasi seks yang mungkin saat ini masih nampak tabu di tengah masyarakat Indonesia.
"Ada PR besar yang harus kita selesaikan, bahwa Edukasi Seks sejak dini itu sangat perlu. Edukasi yang dilakukan sejak dini bukan hanya berdampak mengurangi penularan penyakit seksual dan kehamilan diluar pernikahan, tetapi juga mengurangi angka kekerasan seksual dan pelecehan seksual", tutup Febri.