Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIS) berencana mendaklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan maju di Pilpres 2024.
Rencananya deklarasi bakal dilakukan di Gedung Juang 45 pada Rabu (20/10/2021) pukul 13.00-15.00 WIB.
Tapi Anies Baswedan sama sekali tidak bicara saat ditanya perihal dirinya yang mau dideklarasikan.
Hal ini terjadi usai rapat paripurna di gedung DPRD DKI Jakarta yang berlangsung siang tadi.
Awalnya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini memberikan keterangan pers perihal rapat bersama legislatif.
Kemudian, ia pun menjawab beberapa pertanyaan terkait penerapan PPKM Level 2 di ibu kota.
Setelah menjawab pertanyaan itu, awak media menanyakan soal deklarasi ANIS (sebelumnya ditulis Anies) yang akan dilangsungkan Rabu (20/10/2021) besok.
Anies pun tak menanggapinya dan memilih menjawab pertanyaan lain seputar rapor merah kinerjanya yang diberikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Baca juga: Sebut Sukses Pimpin Jakarta, Anies Bakal Deklarasi Dukung Gubernur DKI Maju Pilpres 2024
Setelah memberi keterangan tersebut, para awak media mencoba bertanya lagi kepada Anies perihal dukungan dari sekelompok orang untuk dirinya maju dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 mendatang.
Namun, Anies Baswedan enggan menanggapinya.
"Cukup ya, terima kasih," ucap Anies sambil berjalan ke arah lift, Selasa (19/10/2021).
Beberapa orang wartawan pun kembali mengejar Anies hingga ke lift untuk meminta keterangannya soal deklarasi tersebut.
Namun, hingga pintu lift tertutup Anies hanya diam seribu bahasa dan melontarkan senyuman ke arah awak media yang mengejarnya itu.
Diberitakan sebelumnya, Koordinator Deklator Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIS), La Ode Basir, mengatakan aliansi ini terdiri dari sejumlah anggota di seluruh Indonesia.
Melalui flyer bertuliskan "Deklarasi Anies Baswedan For Presiden 2024", aliansi ini akan mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres 2024.
"Kami kan lahir di 2018 ya, 2018 juga kami mendukung Anies. Kami lihat keberhasilan beliau dalam memimpin Jakarta," ucap La Ode Basir kepada wartawan, Selasa (19/10/2021).
La Ode Basir mengatakan pihaknya mendukung orang nomor satu di DKI Jakarta itu dalam Pilpres 2024 lantaran melihat kinerja Anies selama ini.
Selain itu, ia menyebut 23 janji Anies untuk memimpin Ibu Kota juga sudah sangat baik.
Sehingga aliansi ini meyakini Anies sangat layak untuk nyapres di Pilpres 2024 mendatang.
Baca juga: Anies Baswedan Undang Pengusaha Singapura Inves di Jakarta, Tawarkan 2 Proyek Baru
"Contohnya penataan kota yang lebih rapi, instrumen jelas dibuktikan dengan penghargaan-penghargaan dari lembaga kredibel," ujarnya.
Ia menyebut banyak penghargaan yang Anies terima, seperti integrasi antarmoda transportasi.
"Kemudian bagaimana penataan jalan, pembangunan sarana, baik infrastruktur, menggerakkan masyarakat."
"Ada 23 janji kampanye Anies kan kelihatan, ada yang sudah dikerjakan, ada yang sedang berjalan," sambungnya.
Adapun siaran zoom dan youtube yang tersedia.
10 Rapor Merah Anies
Apa yang disampaikan Aliansi berbeda dengan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta.
LBH Jakarta memberi 10 rapor merah Anies selama 4 tahun memimpin ibu kota.
Rapor merah bertajuk 'Jakarta Tidak Maju Bersama' itu disampaikan perwakilan LBH Jakarta kepada Asisten Pemerintahan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko.
"LBH Jakarta menyoroti 10 permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta," ucap pengacara publik LBH Charlie Albajili saat menyambangi kantor Anies di Balai Kota Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, (18/10/2021).
Rapor ini juga berisi refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies di DKI Jakarta
Berikut rincian 10 catatan rapor merah 4 Tahun Gubernur Anies:
1. Buruknya Kualitas Udara Jakarta
Baca juga: LBH Beri Rapor Merah Kepada Anies, Wakil Gubernur DKI Nilai Perkembangan Jakarta Semakin Membaik
Baca juga: Pemprov DKI Agendakan Gubernur Anies Terima Langsung Rapor Merah dari LBH Jakarta
Soal kualitas udara Jakarta dianggap sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999.
LBH Jakarta juga menyebut kualitas udara di ibu kota tak lagi sesuai BMUA DKI Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta.
"Hal ini disebabkan oleh abainya Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan," imbuh dia.
2. Sulit Akses Air Bersih Akibat Swastanisasi
Charlie mengatakan, permasalahan ini kerap ditemui pada warga yang tinggal di pinggiran ibu kota.
Baca juga: Soroti Kondisi Faktual Ibu Kota, LBH Jakarta Minta Anies Baswedan Lakukan 9 Langkah Ini
Khususnya di wilayah padat penduduk, dan lingkungan masyarakat tidak mampu.
Selain aksesnya yang sulit, kualitas air di ibu kota juga dianggap buruk, sehingga tidak layak digunakan atau dikonsumsi masyarakat.
"Pasokan air yang kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air, mutu atau kualitas air yang buruk, dan memburuknya kualitas air tersebut."
"Ini tentu saja akan berakibat pada air yang tidak layak digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat," ujarnya.
3. Penanganan Banjir
Baca juga: LBH Jakarta Serahkan Rapor Merah ke Anies, Pemprov DKI: Kami Terbuka dengan Kritik
Pemprov DKI dianggap belum bisa menangani masalah banjir sampai ke akarnya.
Pasalnya, penanganan banjir selama ini hanya fokus pada aliran sungai di wilayah Jakarta dengan menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir lewat betonisasi.
Padahal, ada beberapa tipe banjir, yaitu banjir karena hujan lokal, banjir kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, dan banjir kombinasi.
"Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah pun masih ditemukan potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai," tuturnya.
4. Penataan Kota Belum Partisipatif
Penataan kota dengan pendekatan partisipasi warga atau Community Action Plan (CAP) merupakan bagian dari 23 janji kampanye Anies.
Salah satu contoh penerapannya ialah pembangunan Kampung Akuarium di wilayah pesisir utara Jakarta.
LBH Jakarta menilai penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal layak bagi warga Kampung Akuarium.
5. Pemprov DKI Tak Serius Perluas Akses Bantuan Hukum
Hal ini disorot LBH lantaran tidak adanya aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah (Perda) di DKI Jakarta.
"Kekosongan aturan inilah melahirkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui APBD," ucapnya.
"Serta penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum," tambahnya menjelaskan.
Baca juga: Survei Litbang Harian Kompas: Elektabilitas Prabowo dan Ganjar Imbang, Anies Posisi Ketiga
6. Sulitnya Memiliki Tempat Tinggal di Jakarta
Program rumah DP 0 rupiah yang digadang-gadang sejak masa kampanye Pilgub DKI 2017 lalu menjadi sorotan LBH.
Anies sempat menargetkan bakal membangun 232.214 unit rumah DP 0 rupiah bagi warganya.
Target itu mendadak direvisi Gubernur Anies menjadi hanya 10 ribu unit.
Ketentuan soal pembelian rumah DP 0 rupiah ini diubah dari awalnya dikhususkan bagi warga berpenghasilan Rp 4 juta sampai Rp 7 juta, menjadi Rp 14 juta.
"Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukkan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye," ujarnya.
7. Belum Ada Intervensi Signifikan Soal Masalah Warga Pesisir dan Pulau Kecil
LBH Jakarta menilai, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dibandingkan masyarakat di wilayah lain.
Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.
Baca juga: 4 Tahun Anies Urus Ibu Kota, Jakarta Resmi Jadi Tuan Rumah Formula E pada 4 Juni 2022
Alih-alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor utama, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov dinilai justru berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
8. Penanganan Pandemi Masih Setengah Hati
Capaian 3T (testing, tracing, dan treatment) yang dilakukan Pemprov DKI di masa krisis dinilai LBH Jakarta sangat rendah.
Padahal, DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19.
"Pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak," tuturnya.
Pemprov DKI dianggap gegabah melakukan pelonggaran dengan membuka mal pada Agustus 2021 dan mengizinkan anak di bawah 12 tahun melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
Padahal kala itu positivity rate Covid-19 masih berada di atas lima persen.
"Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan."
"Terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti."
"Di situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi," kata Charlie.
9. Penggusuran Paksa Masih Hantui Warga Jakarta
LBH Jakarta menilai, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta.
Sebab, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 207 Tahun 2016 yang dibuat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok masih dipertahankan Anies.
Baca juga: Sidang Korupsi Tanah Munjul, Anies Baswedan Disebut Setuju Modali Dirut Sarana Jaya
Adapun aturan itu berisi tentang penertiban pemakaian atau penguasaan tanah izin. Aturan itu sebelumnya kerap dijadikan landasan hukum bagi Ahok dalam melakukan penggusuran.
"Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM," ucapnya.
Charlie menyebut, Pergub itu kini masih digunakan Anies untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga di Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.
10. Reklamasi
Gubernur Anies Baswedan dinilai tidak konsisten dengan janji kampanye lantaran masih ada indikasi reklamasi tetap dilanjutkan.
Indikasi ini muncul setelah Anies menerbitkan Pergub Nomor 58/2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Pergub ini menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai 'perusahaan mitra'," tuturnya.
Problem lain muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera.
Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan.
Selain itu pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Baca juga: Siaga Potensi Banjir di DKI, Gubernur Anies Cek Kesiapan Petugas dan Peralatan
Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya.
Alhasil, gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H, namun kalah di gugatan lain seperti Pulau F dan Pulau G.
"Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka," kata dia. (*)
Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Mau Dideklarasikan jadi Capres 2024, Anies Baswedan Diam Seribu Bahasa