TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi menyoroti tarik ulur jadwal pemilihan umum (pemilu) 2024 yang hingga kini belum ditetapkan.
Jojo mengingatkan bahwa dalam menetapkan jadwal, perlu disusun tahapan pemilu yang presisi.
Hal itu dimaksudkan agar jarak waktu antara tahapan pemilu dengan masa jabat presiden yang sedang menjabat tak terlalu panjang.
Demikian disampaikannya dalam webinar bertajuk 'Desain Jadwal Pemilu 2024 dan Fokus Timsel KPU-Bawaslu', Rabu (20/10/2021).
"Tahapan pemilu yang disusun itu harus presisi, dia tidak boleh lebih dari durasi jabatan kekuasaan. Dan bila kurang dari durasi jabatan maka ia tidak boleh terlampau jauh seperti yang saya sebutkan delapan bulan atau enam bulan," ujarnya.
Jojo menjelaskan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, diatur tahapan pemilu berlangsung selama 20 bulan.
Baca juga: Polemik Jadwal Pemilu 2024, Apa Tanggapan Menko Polhukam?
Secara matematis, jika usulan Pemilu digelar pada Mei, maka tahapan pemilu dimulai pada Oktober 2022.
"Saya pikir kalau April atau Mei (pemilu) dilaksanakan sejak tahun 2004 sampai tahun 2014 maka saya pikir itu keajegan itu perlu dipertimbangkan menjadi bahan pertimbangan untuk kita menyusun tahapan," ujarnya.
Selain itu, Jojo menyebut ada konsekuensi jika jarak waktu antara terpilihnya presiden secara definitif di pilpres 2024 nanti dengan tempo berakhirnya masa jabatan presiden yang sedang menjabat.
Jika durasinya terlalu panjang, misalnya ada rentang waktu delapan bulan, hak itu akan mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan yang sedang berlangsung.
"Karena orang sudah disibukkan dengan agenda-agenda lain misalnya soal penyusunan kabinet baru. Atau sebagian parpol misalnya disibukkan dengan komposisi dan siapa siapa yang harus masuk kabinet, dan politik akan gaduh," tandasnya.