Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum DPP Partai Demokrat hadiri sidang lanjutan dalam agenda pemeriksaan ahli pada gugatan perkara nomor 154/G/2021/PTUN-JKT di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta.
Adapun dalam perkara ini turut terlibat pihak Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat Deli Serdang sebagai penggugat dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) selaku tergugat serta DPP Partai Demokrat sebagai tergugat II intervensi.
"Hari ini kita akan mengikuti sidang pemeriksaan saksi ahli yg diajukan oleh penggugat," kata anggota kuasa hukum Partai Demokrat Heru Widodo di PTUN, Kamis (21/10/2021).
Kata Heru, akan ada dua hal pokok yang dicermati pada proses pemeriksaan saksi ahli dalam sidang hari ini.
Pertama kata dia, soal tenggat waktu pengajuan gugatan yang diajukan penggugat yakni tiga orang mantan kader Partai Demokrat terkait Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Adapun keputusan itu tertuang dalam Nomor M.HH-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat (AD/ART) sesuai kongres kelima Partai tertanggal 18 Mei 2020.
"Jadi isu hukum yang akan kita garis bawahi adalah karena yang menjadi objek adalah kedua SK Menteri Kehakiman (Menkumham, red) tahun 2020, di mana jangka waktunya sudah lebih dari 180 hari (untuk diajukan gugatan keberatan)," kata Heru.
Baca juga: Jadi Kuasa Hukum DPP Partai Demokrat, Hamdan Zoelva Belum Komunikasi dengan SBY maupun Yusril
"Para penggugat ini adalah dulunya aktivis, pengurus aktif di DPC. Setidaknya mereka tidak bisa menghindar mengatakan baru tahu sekarang, jadi dari isi tenggang waktu ini akan menjadi titik krusial untuk kita nanti pertanyakan," sambungnya.
Persoalan kedua yang akan dibahas tim kuasa hukum dalam sidang ini kata Heru yakni soal pengesahan AD/ART Partai.
Dia menyebut, seharusnya AD/ART itu dipahami sebagai konsensus produk aturan internal Partai yang di mana jika ada keberatan dalam pengesahannya harusnya diselesaikan di internal Partai melalui Mahkamah Partai Demokrat.
"Kalau penggugat itu hadir dalam kongres 2020, ternyata di situ tidak ada keberatan, tentunya menjadi pertanyaan. Kenapa baru mempersoalkan sekarang? Itu kan konsensus," ucap Heru.
Terlebih kata dia, Mahkamah Partai selalu memberi ruang untuk berdiskusi dan mengevaluasi segala macam aturan atau produk internal partai.
Baca juga: Jawaban Hamdan Zoelva Soal AD/ART Demokrat Dianggap Tak Demokratis: Ukurannya Apa?
Sehingga seharusnya seluruh kader Demokrat dapat memanfaatkan ruang diskusi tersebut jika ada yang merasa keberatan bukan membuat gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.
"Kalau pun ada keberatan, ada untuk menyehatkan demokrasi di internal partai, UU Parpol sudah memberikan ruang, yang merupakan kompetisi absolut selesaikan di Mahkamah Partai," kata dia.
"Kalau seandainya enggak puas dengan hasil keputusan Mahkamah Partai, melalui peradilan umum, bukan pengadilan tata usaha negara. Jadi itu dua titik krusial yang nanti akan kita coba tanyakan kepada ahli yang diajukan oleh penggugat," tukasnya.
Sebelumnya, tiga orang mantan kader Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggugat partai berlambang bintang mercy itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta.
Gugatan dengan nomor perkara 154/G/2021/PTUN-JKT dilayangkan lantaran ketiga kader tersebut menilai terpilihnya AHY sebagai ketua umum pada kongres ke-5 Partai Demokrat tidak sesuai dengan undang-undang partai politik (Parpol).
Komentar Hamdan AD/ART Demokrat disebut tak demokratis
Kuasa hukum Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Hamdan Zoelva menjawab tudingan AD/ART Demokrat tahun 2020 tak demokratis.
Hamdan mengatakan, aturan dalam AD/ART itu telah dikehendaki oleh semua anggota partai dan diputuskan dalam Kongres 2020 lalu.
Dia menyebutnya bahwa anggota partai politik memiliki hak eksklusif dan kedaulatan dalam menyusun aturan dalam AD/ART.
Hal itu disampaikannya saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribunnetwork Rachmat Hidayat, Selasa (19/10/2021).
"Dan aturan itu yang mereka kehendaki, kita terima kecuali pelanggaran terhadap larangan-larangan yang dalam undang-undang partai politik, ada beberapa larangan," kata Hamdan.
Baca juga: Gugatan AD/ART Demokrat Disebut Terobosan Hukum, Hamdan Zoelva: Masalahnya Ditembak ke Satu Partai
"Masalah itu demokratis atau tidak demokratis ukuran mana? ukuran siapa? kan enggak ada ukurannya. Sekarang saya tanya apakah pemilihan Gubernur Yogyakarta yang langsung ditetapkan itu demokratis atau engga?," imbuhnya.
Berdasarkan pengalaman Hamdan membaca AD/ART parpol di Indonesia, bahwa masing-masing partai memiliki perbedaan yang spesifik.
Misalnya saja soal pembatasan masa jabatan ketua umum partai, ada yang membatasi hanya dua periode dan ada yang tidak membatasi.
Hal itu yang kemudian tidak diatur dalam UU Partai Politik karena memang negara tak mengatur internal partai politik sejauh itu.
Apalagi, kegiatan operasional parpol bersumber dari iuran para anggota. Negara hanya sebatas memberi bantuan.
Hal itulah yang menjadi pertanyaan balik kepada advokat Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan gugatan AD/ART Demokrat 2020 ke Mahkamah Agung (MA).
Diketahui, Yusril menggugat AD/ART Demokrat menggunakan dua undang-undang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca juga: Yusril : Saya Nggak Mau Ngajarin Hamdan Zoelva
Menurut Hamdan, langkah mengambil judicial review ke MA tidak tepat dan seharusnya berpikir ke depan bagaimana regulasi dapat diperbaiki.
"Jadi kalau mengapa partai politik tidak dengan mengambil judicial review tapi undang-undangnya disempurnakan. Saya dari dulu sebenarnya mengusulkan partai politik itu adalah organisask publik yang seluruhnya dibiayai oleh negara," ucapnya.
"Karena itu hak dan kedaulatan anggota parpol itu menetukan aturan main di antara mereka. Jadi ini prinsipnya yang paling mendasar sebenarnya," pungkasnya.