Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Syarat wajib tes polymerase chain reaction(PCR) bagi penumpang pesawat terbang dinilai tidak tepat.
Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman, mengatakan alasannya justru risiko penularan covid-19 paling kecil dari semua moda transportasi adalah pesawat terbang, karena sudah dibekali teknologi HEPA(high-efficiency particulate absorbing) atau penyerap udara partikulat berefisiensi tinggi.
HEPA bekerja di dalam kabin pesawat dengan melakukan sirkulasi udara sebanyak 20 kali dalam waktu satu jam dan ini menjadikan risikonya sangat kecil.
Baca juga: Relawan Jokowi Mania Sebut Harga Tes PCR Terlalu Mahal dan Bebani Masyarakat
Hal itu juga sudah terbukti dalam sebuah kasus saat ada penumpang di sebuah maskapai dari China menuju Kanada awal-awal pandemi silam terkonfirmasi positif covid-19, akan tetapi kemudian tidak ada penularan.
Karena itulah strategi pengendalian pandemi berbasis risiko khusus untuk pesawat terbang dengan menggunakan tes PCR menjadi tidak efektif.
"Kalau risiko rendah syarat screening jangan yang paling ketat itu logikanya walaupun jangan juga dilonggarkan sama sekali," ujar Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman saat berbincang dengan Tribun, Senin (25/10/2021).
Dicky mengatakan PCR memang suatu alat konfirmasi atau diagnostik untuk menentukan pasti tidaknya seseorang membawa virus penyebab SARS Covid-2 sehingga dia dijadikan sebagai suatu strategi untuk mengkonfirmasi.
Baca juga: Syarat Penerbangan Lion Air Terbaru selama PPKM, Wajib Tes PCR dan Vaksin Minimal Dosis 1
Namun kata Dicky, PCR adalah alat strategi diagnostik yang semestinya dipergunakan di tahapan akhir. Artinya ada suat alat yang mengkonfirmasi pada tahapan sebelumnya yakni antigen.
"Sebenarnya sudah sangat tepat memakai antigen sebelumnya, ditambah syarat vaksinasi lengkap, bahkan kalau nanti ke depan secara domestik semua daerah cakupan vaksinasinya sudah penuh 80 persen lebih maka sudah tidak perlu lagi ada tes. Seperti di Australia, sekarang tidak ada tes tes,"kata Dicky.
Kendati demikian Dicky tetap memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah melakukan screening penumpang pesawat dengan tes PCR.
Karena itu sebenarnya ide yang baik untuk mencegah penularan virus covid-19 secara luas.
Namun, lanjut Dicky, dalam konteks moda transportasi semestinya harus dicari strategi yang efektif, mudah, murah dan cepat, tetapi bukan berarti tes PCR adalah ide yang buruk.
PCR kata dia adalah sebuah pilihan kurang bijak dilakukan saat ini apalagi untuk penumpang pesawat terbang yang risiko penularannya sangat kecil.
"Bicara strategi testing harus melihat cost efektif. Kecuali pemerintah mau terus subsidi dan untuk moda transportasi lain selain udara juga dilakukan hal yang sama. Dua-duanya efektif PCR dan antigen, bahkan antigen sudah direkomendasikan WHO September lalu tapi PCR harusnya opsi terakhir, kalau kita bicara strategi efektif. Efektif kan bukan hanya murah, tapi mudah dan cepat, secara sumber daya tidak terlalu banyak. Kecuali pemerintah mau beri subsidi total dan meningkatkan semua sumber daya manusianya, kan ini enggak mungkin kan berat jadi ribet lagi jadi enggak cost efektif dan tidak sustain nantinya," kata Dicky.
Harga PCR di Bali Mendadak Melambung Hingga Rp 1,9 Juta, YLKI: Harga Dipermainkan Demi Cuan
Hari pertama pelaksanaan edaran penumpang pesawat wajib tes PCR, Minggu (24/10/2021) ternyata membuat masalah baru bari para calon penumpang pesawat.
Permasalahan terjadi di Bali, tempat wisata yang sudah mulai dikunjungi oleh para wisatawan domestik.
Namun para calon penumpang yang hari Minggu kemarin akan mengakhiri liburan di Bali harus lama antre tes PCR.
Baca juga: Berikut Harga Tes Swab PCR Terbaru di Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya
Mereka kebingungan karena banyak yang tidak dapat kuota PCR akibat yang mengantre membeludak terlalu banyak.
Bayu Rizki, salah seorang penumpang pesawat terbang yang hendak kembali ke Jakarta usai liburan di Bali menyebut hampir semua lokasi tes PCR di Pulau Dewata overload.
Ia bercerita,d irinya sempat mencari tes PCR di daerah Sunset Road, Kuta. Namun dirinya tidak beruntung karena kuota sudah melebihi batas alias overload.
Begitu juga di beberapa rumah sakit swasta di kota Denpasar, semuanya penuh.
"Overload semua ini," kata Bayu saat berbincang dengan Tribun, Minggu (24/10/2021).
Bayu mengaku belum bisa menjalani tes PCR dan saat ini mengaku sedang mencari lokasi tes PCR di kawasan Jalan Bypass Kuta.
Baca juga: Jadi Syarat Perjalanan Penumpang Pesawat, Ini Rincian Harga Tes PCR di Jabodetabek
Kabarnya ada salah satu telemedicine ternama membuka gerai tes PCR di lokasi tersebut. "Semoga bisa," ujar Bayu.
Menurut Bayu, sebenarnya masih ada layanan tes PCR yang hasilnya bisa didapat dalam waktu hanya 4 jam, akan tetapi harganya selangit.
"Yang express harganya Rp 1,9 juta. Yang biasa H plus 2 baru keluar hasilnya, nah yang ini overload," kata dia.
Dia sangat menyayangkan adanya praktik komersialisasi test PCR tersebut.
Apalagi dengan menawarkan harga yang dirasa cukup menguras kantong.
"Parah ini kondisinya. Semuanya mau cari duit," kata dia.
Nyaris Gagal Terbang
Sementara itu Inneke Lady, penumpang pesawat transit dari Alor menuju Surabaya, nyaris gagal terbang di Bandara El Tari Kupang gara-gara hanya memiliki bebas Antigen.
Inneke warga Jakarta tersebut menceritakan, hari Minggu kemarin saat dia pulang tugas kantor dari Alor dan mesti transit ke El Tari sempat tertahan oleh petugas maskapai.
Sang petugas ngotot ia harus memiliki keterangan tes PCR, padahal untuk melakukannya di Kupang butuh waktu yang tidak cepat.
"Posisi saya transit dari Alor, sedangkan di Alor tidak ada layanan PCR hanya antigen. Masa sampai di Kupang harus tes PCR, padahal jeda waktu melanjutkan perjalanan hanya beberapa jam," ujar Inneke kepada Tribunnews.com, Senin (25/10/2021).
Menurutnya, kalau posisi hanya transit hanya lapor ke petugas check ini untuk mencetak boarding pass.
Sempat berdebat dengan petugas, dia akhirnya diperbolehkan masuk pesawat.
YLKI Duga Ada Mafia
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membeberkan dugaan mafia pengadaan tes PCR memainkan harga demi mengejar keuntungan atau cuan.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, Harga Eceran Tertinggi (HET) PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah "PCR Ekspress".
"Harganya 3 kali lipat dibanding PCR normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," ujarnya melalui siaran pers, ditulis Minggu (24/10/2021).
Tulus menilai, sebaiknya kebijakan tersebut dibatalkan atau minimal direvisi, misalnya waktu pemberlakukan PCR menjadi 3x24 jam.
Baca juga: Ini Daftar Harga Tes PCR Sebagai Persyaratan Wajib Naik Pesawat Terbang
Mengingat di daerah, lab PCR tidak semua bisa cepat atau cukup antigen saja, tapi dengan persyaratan harus sudah vaksin 2 kali.
"Selain itu, turunkan HET PCR menjadi kisaran Rp 200 ribuan. Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya, ada pihak pihak tertentu diuntungkan," kata Tulus.
Dia menambahkan, kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen.
"Diskriminatif karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen. Bahkan tidak pakai apapun," pungkasnya.