News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jaksa Agung Wacanakan Hukuman Mati Bagi Koruptor, ICW Singgung Jaksa Pinangki

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2/2021). Pinangki divonis 10 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti bersalah menerima suap USD 450 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) dan melakukan TPPU, serta permufakatan jahat. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menganalisis dua hal terkait dengan rencana Jaksa Agung ST Burhanuddin yang sedang mengkaji untuk memberikan tuntutan hukuman mati terhadap koruptor.

Pertama,  ICW memfokuskan terkait tujuan dari pemberian tuntutan hukuman mati tersebut.

"Apakah hukuman mati adalah jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia?" kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dimintai tanggapannya, Jumat (29/10/2021).

Sebab kata dia, jika memang tujuannya untuk memberikan efek jera untuk koruptor maka yang harus diterapkan yakni penerapan hukuman kombinasi.

Adapun beberapa hukuman tersebut seperti hukuman badan hingga pemiskinan terhadap koruptor yang terjerat bukan dengan memberikan tuntutan hukuman mati.

Baca juga: ICW Menilai Rencana Jaksa Agung Berikan Hukuman Mati Bagi Para Koruptor Hanya Jargon Politik

Itu perlu dilakukan juga untuk menekan angka korupsi di Indonesia yang menurutnya penanganan terhadap kasus tersebut masih buruk.

"Bagi ICW, pemberian efek jera akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor, mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Bukan dengan menghukum mati para koruptor," tegasnya.

Sementara hal lain yang dianalisis ICW yakni  mempertanyakan terkait kualitas penegakan hukum oleh para aparat penegak hukum terkait dengan penindakan para koruptor.

Dia menyatakan penerapan penegak hukum untuk perkara korupsi ini masih harus diperbaiki.

"Apakah sudah menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor? Faktanya, belum, bahkan, masih banyak hal yang harus diperbaiki," ucapnya.

Terkhusus kata dia, dalam internal Kejaksaan Agung itu sendiri.

Dirinya menyinggung terkait kasus yang menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Kata Kurnia pada perkara ini Korps Adhyaksa dinilai berkualitas buruk dalam melakukan penegakan hukumnya, terlebih ini menjerat oknum internal.

"Misalnya, (kasus) Pinangki Sirna Malasari. Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi," kata Kurnia.

Lebih jauh kata dia, ICW juga menyoroti soal pemberian 'diskon' tahanan kepada beberapa koruptor.

Di mana berdasarkan catatan internalnya, hukuman untuk koruptor di Indonesia masih berada pada titik terendah.

"Belum lagi jika berbicara tentang lembaga kekuasaan kehakiman. Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi," katanya.

"Dalam catatan ICW, hukuman penjara saja masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020," sambung Kurnia.

Selanjutnya kata dia, pemulihan kerugian keuangan negara juga masih menjadi problematika klasik yang juga belum kunjung selesai hingga saat ini.

"Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun," ucap dia.

Tak hanya itu, sebelumnya, Kurnia juga mengatakan, pihaknya beranggapan kalau rencana seperti yang sedang dikaji Jaksa Agung tersebut dinilai hanya merupakan jargon politik.

Itu kata dia hanya untuk memperlihatkan kepada masyarakat atas keberpihakan sejumlah pihak terhadap pemberantasan korupsi.

"ICW beranggapan, hukuman mati bagi pelaku korupsi sering kali dijadikan jargon politik bagi sejumlah pihak, entah itu Presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung), untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi," kata Kurnia saat dimintai tanggapannya, Jumat (29/10/2021).

Hal itu dikatakan karena kata Kurnia, dalam kondisi sebenarnya, penegakan hukum yang ada saat ini masih buruk.

Sehingga menurutnya, apa yang direncanakan dan selalu dikaji untuk menjatuhkan tuntutan hukuman mati kepada koruptor itu tidak sesuai dengan realita.

"Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," katanya.

Oleh karenanya, ICW kata Kurnia, yang seharusnya dilakukan oleh para penegak hukum termasuk Kejaksaan Agung yakni memperbaiki kualitasnya.

Jangan sampai, kualitas penegakan hukum belum baik, malah membuat suatu rencana yang sejatinya tidak menyelesaikan permasalahan utama.

"Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan," tukas Kurnia.

Sebelumnya, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengkaji untuk memberikan hukuman mati terhadap koruptor. Penerapan hukuman mati ini dinilainya tepat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat.

Pernyataan ini disampaikan Burhannudin saat melakukan briefing bersama Kajati, Wakajati, Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah pada Kamis (28/10/2021).

"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan Hukum Positif yang berlaku serta nilai-nilai Hak Asasi Manusia," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer dalam keterangannya, Kamis (28/10/2021).

Jaksa Agung, kata Leo, memiliki pertimbangan hukuman mati ini setelah melihat penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung RI. Dua yang menjadi sorotan adalah kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri.

"Jiwasraya dan Asabri sangat memprihatinkan kita bersama dimana tidak hanya menimbulkan kerugian negara kasus Jiwasraya Rp16,8 Triliun dan Asabri 22,78 Triliun. Namun sangat berdampak luas baik kepada masyarakat maupun para prajurit," ujarnya.

Leo menuturkan Jiwasraya dan Asabri menyangkut hak banyak pegawai maupun prajurit yang menggantungkan jaminan hidup hari tuanya. Namun, dana itu justru di korupsi oleh oknum orang tertentu.

"Perkara Jiwasraya menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial, demikian pula perkara korupsi di ASABRI terkait dengan hak-hak seluruh prajurit dimana ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua," jelasnya.

Selain itu, kata Leo, Jaksa Agung juga membuka kemungkinan memberikan hukuman lain selain hukuman mati kepada koruptor.

"Bapak Jaksa Agung juga menyampaikan kemungkinan konstruksi lain yang akan dilakukan, yaitu bagaimana mengupayakan agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi," tukasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini