Bakat Usmar semakin berkembang saat ia bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang).
Bersama dengan Armijn Pane dan budayawan lainnya, Usmar pun bekerja sama untuk mementaskan drama.
Kemudian pada Pada tahun 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, dan bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta HB Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya.
Maya adalah sebuah sandiwara yang dipentaskan berdasarkan teknik teater barat.
Baca juga: Presiden Jokowi Pimpin Upacara Ziarah Nasional Hari Pahlawan
Kehadiran Maya ini pun dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.
Sandiwara yang dipentaskan Maya, antara lain, “Taufan di Atas Asia (El Hakim)”, “Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail)”, “Mekar Melati (Usmar Ismail)”, dan “Liburan Seniman (Usmar Ismail).”
Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda saat ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara.
Saat itu Usmar dituduh terlibat kegiatan subversi karena meliput perundingan Belanda RI di Jakarta, pada tahun 1948.
Baca juga: Tiba di TMP Kalibata, Presiden Jokowi Langsung Pimpin Upacara Peringatan Hari Pahlawan
Serius di Bidang Perfilman
Setelah terjun ke dunia teater, Usman mulai menaruh minatnya yang lebih serius pada perfilman.
Sewaktu masih di Yogya pun, Usmar hampir setiap minggu bersama teman-temannya berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film.
Teman berdiskusinya itu, antara lain, Anjar asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi.
Anjar Asmara itulah orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara dalam film “Gadis Desa.”
Setelah itu, berlanjut pada penggarapan film berikutnya, seperti “Harta Karun,” dan “Citra.”
Baca juga: Sejarah Peringatan Hari Pahlawan, Dilengkapi Pesan dari Para Pahlawan, dan Kumpulan Link Twibbon