TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kemenangan Partai Demokrat di Mahkamah Agung (MA) patut disyukuri sebagai kemenangan demokrasi, tapi Partai Demokrat maupun masyarakat sipil diingatkan untuk tetap mewaspadai ancaman brutalitas demokrasi, baik di dunia nyata maupun di dunia nyata.
Peringatan ini disampaikan oleh ahli hukum, yang juga aktivis HAM dan Demokrasi, Dr. Bambang Widjojanto (BW) serta dosen UNDIP Dr. Wijayanto dalam webinar Proklamasi Democracy Forum (PDF), Minggu (21/11/2021).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat Tomi Satryatomo memaparkan temuan tentang kemungkinan buzzer bayaran yang mengepung partai-partai non pemerintah berdasarkan analisa jejaring sosial selama enam bulan, dibandingkan dengan partai-partai koalisi pemerintah.
Diskusi dimoderatori oleh ahli komunikasi politik Diska Putri Pamungkas.
BW mengingatkan bahwa kemenangan di MA bukanlah 'hadiah' dari pemerintah pada Partai Demokrat.
"Ini tidak lepas dari upaya Partai Demokrat yang sangat serius menjaga setiap persidangan. Istilahnya man to man marking," ujar BW.
"Di sisi lain, Demokrat juga melakukan komunikasi yang aktif dan masif pada publik sehingga memperoleh dukungan masyarakat," katanya menambahkan.
BW mengingatkan bahwa upaya kudeta terhadap Partai Demokrat ini bukan hanya persoalan Demokrat saja tapi juga persoalan masyarakat sipil.
"Saya menyebutnya sebagai brutalitas demokrasi, karena memang sudah brutal sekali cara-caranya," tegas BW.
Ke depan, BW mengingatkan Demokrat harus melibatkan para aktivis, para akademisi dan anak-anak muda pemilik suara di masa depan untuk bukan hanya tahu tapi juga berani bersuara.
Baca juga: Demokrat Kritik Pertemuan Prabowo dan Megawati, Sebut Tak Pantas Adakan Pertemuan Politik di Istana
Ia menggarisbawahi bahwa pada saat ini berbagai survei menunjukkan elektabilitas Demokrat maupun Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terus menunjukkan tren naik.
"Ini kesempatan yang baik untuk memanaskan mesin partai sambil tetap melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil dengan terus berlatih berkoordinasi dan bergerak dalam komando sambil tetap fleksibel melihat persoalan. Jangan reaktif, tapi harus memimpin dengan melihat secara jernih berbagai persoalan yang berkembang," kata BW.
Tidak hanya di dunia nyata, tekanan terhadap Partai Demokrat juga terjadi di dunia maya.
Jurnal 'Inside Indonesia' edisi 146 (Okt-Des 2021) yang diterbitkan Australia, mempublikasikan serangkaian hasil riset tentang pasukan siber di Indonesia, salah satunya berjudul 'A Digital Coup Inside Partai Demokrat'.
Riset dilakukan secara bersama oleh Universitas Diponegoro, University of Amsterdam, LP3ES dan Drone Emprit.
Salah satu periset utamanya Dr. Wijayanto mengingatkan bahwa nformasi yang benar seperti oksigen dalam demokrasi, karena orang menggunakan informasi untuk mengambil keputusan.
"Karena itu, disinformasi dan hoaks (yang disebarkan pasukan siber), menjadi gas beracun dalam demokrasi," kata Wija yang juga Direktur Center for Media and Democracy LP3ES.
Bagi Wija, apa yang terjadi pada Partai Demokrat ini merupakan pelemahan sistematis oposisi.
Baca juga: AHY Ajak Partai Demokrat Doakan Max Sopacua
"Penguasa mencoba membeli legitimasi menggunakan pasukan siber," ungkap Wija, "Ini mungkin bisa terjadi dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang publik akan sadar sehingga menjadi bumerang."
Wija menyarankan Partai Demokrat dan masyarakat sipil untuk terus meningkatkan literasi digital.
"Waspadai jika volume percakapan atas suatu isu mendadak naik dalam jumlah besar, atau tsunami isu," kata Wija yang berbicara dari Semarang.
Selain itu, biasanya konten-kontennya dibuat secara terencana, bukan amatiran atau spontan.
Isu yang didorong pasukan siber juga biasanya punya endurance (daya tahan) yang lama. Contohnya isu Presiden tiga periode.
"Saya diwawancarai isu ini pada tahun 2019, lalu pada tahun 2020 dan tahun 2021 ini saya masih ditanya isu yang sama," katanya.
Dalam risetnya, Wija dan kawan-kawan mewawancarai sejumlah pelaku pendengung (buzzer) digital.
Mereka mengungkapkan bahwa serangan digital terhadap PD sudah direncanakan sebelum Kongres V PD bulan Maret 2020.
Terungkap juga struktur organisasi serta rentang imbalan bagi masing-masing tingkatan dalam organisasi tersebut.
Terinspirasi oleh riset gabungan tersebut, Kabalitbang DPP Partai Demokrat Tomi Satryatomo melakukan analisa jaringan sosial (social network analysis) atas dua partai non pemerintah dibandingkan dengan enam partai koalisi pemerintah.
Analisa menggunakan big data selama periode enam bulan sejak 15 Mei hingga 15 November 2021 ini menemukan indikasi Partai Demokrat maupun PKS dibayang-bayangi oleh pendengung bayaran, dengan aktor-aktor pelaku yang sebagian sama, dan juga ditemukan kesamaan narasi negatif terhadap kedua partai non pemerintah tersebut.
Dalam penutupannya, moderator Diska Putri Pamungkas menggarisbawahi kembali soal praktek brutalisme demokrasi.
"Makin mendekati kontestasi pemilu 2024, dinamika ini kelihatannya akan makin memanas, dan harus terus diwaspadai," ujarnya.