Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan.
Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka”.
Pada 1932, nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).
Perubahan nama ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda.
Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta.
Baca juga: Kemenag Cairkan Insentif Rp66 M bagi Guru PAI Non PNS, Menag Sebut untuk Kesejahteraan Guru PAI
Baca juga: Cegah Penularan Covid-19, Perguruan Tinggi Gelar Wisuda Secara Hybrid
Melalui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku, sepakat dihapuskan.
Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk.
Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam kongres inilah, pada 25 November 1945, 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, PGRI didirikan.
Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tengah bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :
1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.