Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Bintang Puspayoga mengatakan satu dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan, non-pasangan atau keduanya, setidaknya sekali dalam hidupnya.
Serupa dengan kondisi global, 1 dari 3 perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dalam hidupnya.
“Indonesia yang aman bagi perempuan tidak akan tercipta tanpa dukungan dan sinergi dari seluruh pihak, khususnya media," kata Bintang saat webinar “Ubah Narasi: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan, Kamis (25/11/2021).
Baca juga: Kondisi Rumah Tangga Jonathan Frizzy dan Dhena Devanka Selama Sidang Cerai, Tak Pernah Ada Cekcok
Dirinya berharap media bisa menjalankan kode etik pemberitaan yang ramah perempuan, serta mulai mengembangkan kebijakan media untuk mendorong pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan yang memaparkan fakta-fakta terkait kekerasan terhadap perempuan.
Ia menyebut, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800% atau 8x lipat).
Dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2019), jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2.775.042 kasus.
Artinya 760 kasus per hari atau 31 kasus per jam. Sepanjang 2011-2020, tercatat kekerasan seksual di ranah privat dan komunitas 49.643 kasus.
Fenomena kekerasan adalah seperti gunung es dimana jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar dari yang dilaporkan.
"Dapat diartikan juga bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman," katanya.
Veryanto menambahkan, kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi meningkat, dimana berdasarkan CATAHU 2021, pengaduan melalui Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan meningkat, menjadi 2.389 kasus, dengan catatan 2.341 kasus berbasis gender.
Dari Januari hingga Oktober 2021, tercatat kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi sebanyak 4.711 kasus.
Dalam data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cybercrime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%.
"Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban," katanya.
Veryanto menyebut penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, peran media menjadi sangat strategis.
"Kehadiran media dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan akan berkontribusi dalam mendekatkan hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan, khususnya melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," katanya.
Lola Amaria, Produser Film dan Figur Publik menyatakan, semua memiliki peran, di luar kekuatan media yang sangat signifikan dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan.
Dimulai dari diri sendiri, apa yang dapat dilakukan, kemudian dengan kelompok kecil dan di tempat kerja.
"Contohnya dalam pembuatan film, setiap kru dan artis yang bekerjasama dengan saya harus menyetujui kontrak kerja dimana terdapat pasal yang melindungi hak-hak perlindungan perempuan, termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran," katanya.
Jamshed M. Kazi, UN Women Representative and Liasion to ASEAN mengatakan, konten berita media dapat berkontribusi dalam menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan seksisme atau memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan kesetaraan gender.
"Pemberitaan media yang lebih bertanggung jawab dan lebih luas mungkin tidak akan mengakhiri atau menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan, karena ini membutuhkan keterlibatan dari seluruh masyarakat," katanya.
Peran media tetap penting untuk meningkatkan kesadaran, melawan misinformasi, menanamkan lebih banyak kepercayaan bagi para penyintas dan mendorong respons publik, terutama di antara pembuat kebijakan, akademisi, influencer, dan penyedia layanan.
Devi Asmarani, Co-founder dan Editor-in-chief Magdelene.co menyatakan, pemberitaan yang baik dan akurat dapat membantu menjadi katalis untuk perubahan yang positif yang membantu mengakhiri manifestasi dari sistem patriarki termasuk budaya perkosaan.
"Masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja media dalam hal ini,” katanya.
Bonaria Siahaan, CEO Yayasan Care Peduli menegaskan, CARE memiliki visi untuk menciptakan dunia yang memberikan harapan, bersifat inklusif dan berkeadilan yakni semua orang dapat hidup bebas dari kemiskinan, bermartabat dan memiliki rasa aman.
"Kekerasan terhadap perempuan jelas bertentangan dengan visi tersebut, karena mana mungkin seseorang dapat hidup dengan aman dan bermartabat apabila masih mengalami kekerasan dan hidup di bawah ketakutan," katanya.